Oleh:
Nurhaida (Pemerhati Politik Sumbar)
Penunjukan Taufiqur Rahman, putra Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah, sebagai Ketua DPW PSI Sumatera Barat menjadi perbincangan hangat. Bukan hanya karena sosoknya yang datang dari keluarga besar PKS, tetapi juga karena partai yang dipimpinnya sekarang — PSI, selama ini dikenal sebagai partai yang sulit menembus kultur politik Sumbar yang religius dan konservatif.
Publik tentu terkejut. Seorang anak dari “dedengkot PKS” itu kini justru menakhodai partai yang selama ini dianggap jauh secara ideologis. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah langkah Taufiq ini sinyal perubahan arah politik di Sumbar, atau sekadar langkah pribadi yang simbolik? Dan bagaimana pula respons PKS menghadapi kenyataan bahwa putra dari gubernur mereka kini menjadi pimpinan partai lain?
Secara teori politik, hal ini bisa dibaca sebagai bagian dari sirkulasi elit — pergeseran generasi dan munculnya elit baru di luar lingkaran lama. Dalam setiap periode politik, selalu ada gelombang pergantian figur, baik karena kejenuhan publik maupun keinginan pembaruan. Dalam konteks ini, Taufiq hadir sebagai representasi dari generasi muda yang mungkin ingin keluar dari bayang-bayang struktur partai ayahnya dan membangun karier politik secara mandiri.
Namun langkah ini tentu tidak mudah. Sumbar adalah wilayah dengan basis keagamaan kuat, dan PSI masih dianggap sebagai partai “Jakarta” dengan ide-ide liberal yang tidak terlalu sejalan dengan nilai “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. PSI bahkan belum punya satu pun kursi di DPRD tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Karena itu, membawa bendera PSI di Sumbar bukan hanya soal strategi politik, tapi juga ujian penerimaan sosial dan kultural.
Di sisi lain, keputusan ini menjadi ujian bagi PKS. Partai ini dikenal memiliki disiplin organisasi yang kuat dan kesetiaan kader yang tinggi. Munculnya anak seorang tokoh utama PKS di partai lain tentu memunculkan pertanyaan tentang komunikasi internal dan daya tarik partai di kalangan generasi muda. Mungkin ini juga menjadi pengingat bahwa generasi baru tidak selalu mau berjalan di jalur ideologis yang sama dengan orang tuanya. Dalam konteks ini, PKS perlu membaca fenomena ini dengan kepala dingin: apakah ini sekadar anomali, atau pertanda bahwa politik generasi berikutnya di Sumbar akan semakin cair?
Di pihak PSI, langkah menunjuk Taufiq jelas strategis. PSI selama ini kekurangan figur lokal yang dikenal masyarakat Sumbar. Dengan membawa nama besar Mahyeldi, PSI memperoleh “pintu masuk” simbolik ke masyarakat yang selama ini cenderung skeptis terhadap partai tersebut. Tapi tentu nama besar saja tidak cukup. Tantangan Taufiq adalah membumikan PSI agar lebih akrab dengan nilai-nilai lokal, agar tidak sekadar jadi partai anak muda yang tampak jauh dari realitas sosial masyarakat Minang.















