Menariknya, fenomena ini terjadi di bawah kepemimpinan Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum PSI — putra bungsu dari mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Keduanya kini sama-sama anak tokoh besar: satu dari figur nasionalis sekuler, satu dari figur Islamis. Dan keduanya kini berada di partai yang sama. Ini menciptakan simbol politik baru: PSI menjadi ruang pertemuan lintas ideologi generasi muda elit politik Indonesia.
Sebagian pihak mungkin membaca situasi ini sebagai bentuk politik keluarga versi baru — di mana para tokoh besar “menitipkan” anak-anak mereka bukan untuk mempertahankan kekuasaan lama, tapi untuk membuka jalur politik baru yang lebih fleksibel dan modern. Jika Jokowi menitipkan Kaesang di PSI untuk menjembatani generasi muda nasionalis, publik mungkin bertanya: apakah Mahyeldi, sadar atau tidak, sedang mengikuti pola serupa di tingkat daerah?
Tentu tidak ada bukti bahwa Mahyeldi secara aktif mendorong langkah politik anaknya. Namun persepsi publik tidak bisa dihindari. Dalam budaya politik Minangkabau, hubungan keluarga dan politik sering kali saling berkelindan. Apa pun yang dilakukan anak pejabat akan selalu dikaitkan dengan nama orang tuanya, baik untuk pujian maupun kritik.
Lalu apakah langkah Taufiq akan mengangkat PSI di Sumbar? Peluang itu ada, tapi kecil tanpa kerja keras. Ia membawa legitimasi simbolik, tetapi PSI harus menyediakan legitimasi substantif — program nyata, agenda lokal, dan komunikasi politik yang sensitif terhadap nilai adat dan agama. Jika PSI mampu memadukan semangat muda dengan akar budaya Minang, partai ini bisa menjadi alternatif segar di tengah kejenuhan politik lama. Tapi jika tidak, Taufiq hanya akan menjadi headline sesaat di media, tanpa efek elektoral nyata.
Politik Sumbar kini tengah berputar. PSI mencoba menembus tembok konservatisme dengan figur baru yang punya akar di partai Islam. PKS pun dihadapkan pada ujian regenerasi dan loyalitas kader di tengah munculnya wajah-wajah muda yang lebih cair dalam berpikir politik. Sementara di tingkat nasional, PSI di bawah Kaesang tampaknya mulai menjelajahi ruang politik baru — dari istana ke nagari, dari nasionalis ke religius.
Dalam teori circulation of elites, ini adalah hal alamiah: generasi lama memberi ruang bagi generasi baru untuk membentuk wajah politik berikutnya. Namun di Sumatera Barat, politik bukan hanya soal kekuasaan, tapi juga tentang nilai, identitas, dan kepercayaan. Di sanalah ujian sebenarnya bagi Taufiq, PSI, dan juga PKS.
Apakah langkah ini akan melahirkan babak baru politik Minangkabau yang lebih terbuka dan kompetitif? Atau hanya akan menambah satu bab menarik dalam sejarah tarik-ulur ideologi di ranah ini? Waktu akan memberi jawabannya. (*)















