Prof. Rini menegaskan, keterlambatan imunisasi bukan alasan untuk berhenti.
“Tidak ada kata terlambat. Bila imunisasi sebelumnya tertunda, tetap bisa dilanjutkan tanpa perlu mengulang dari awal,” tegasnya.
Sebelumnya, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat, hingga 2025 baru empat provinsi yang mencapai cakupan imunisasi lengkap. Sebaliknya, 13 provinsi selama tiga tahun terakhir belum mencapai target minimal 90 persen.
Anggota Satgas Imunisasi IDAI, dr. Soedjatmiko, mengungkapkan rendahnya cakupan imunisasi ini memicu kejadian luar biasa (KLB) campak dan rubella di 31 provinsi dan 181 kabupaten, dengan lebih dari 2.000 kasus tercatat tahun ini.
“Setiap tahun sekitar 20–30 persen bayi dan balita Indonesia berisiko sakit berat, cacat, atau meninggal karena imunisasinya belum lengkap. Bahkan hampir satu juta bayi belum pernah diimunisasi sama sekali,” ujar dr. Miko.
Menurutnya, untuk memberikan perlindungan menyeluruh bagi anak-anak, minimal 90 persen anak harus mendapatkan imunisasi lengkap. (rdr/ant)

















