Hal ini sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abu Hurairah, Nabi bersabda:
مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
Artinya, “Siapa saja yang memiliki kemampuan (keluasan rizki), kemudian ia tidak berkurban, maka jangan dekati tempat shalat kami (shalat Idul Adha).”
Berkaitan dengan kriteria atau batasan mampu seseorang dalam berkurban, Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha ad-Dimyathi dalam salah karyanya mengatakan bahwa yang dimaksud sudah mampu adalah ketika seseorang memiliki kelapangan rezeki yang lebih dari kebutuhan dirinya, dan kebutuhan keluarganya, terhitung sejak hari raya Idul Adha hingga selesainya hari tasyrik (tanggal 13 Dzulhijjah).
Dalam kitabnya disebutkan:
يُسَنُّ مُتَأَكِّدًا لِحُرٍّ قَادِرٍ تُضْحِيَةٌ. وَالْمُرَادُ بِهِ: مَنْ يَقْدِرُ عَلَيْهَا فَاضِلَة عَنْ حَاجَتِهِ وَحَاجَةِ مُمَوَّنِهِ يَوْمَ الْعِيْدِ وَأَيَّامَ التَّشْرِيْقِ لِاَنَّ ذَلِكَ وَقْتُهَا
Artinya, “Sangat disunnahkan bagi orang yang mampu untuk berkurban. Dan yang dimaksud dengannya (yang mampu) adalah orang yang mampu untuk berkurban, yang lebih dari kebutuhannya dan kebutuhan keluarganya pada hari raya dan hari tasyrik, karena di hari itulah waktunya berkurban.” (Syekh Syata ad-Dimyathi, Hasiyah I’anah at-Thalibih, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tt], juz II, halaman 376).
Pendapat senada juga disampaikan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami (wafat 974 H) dalam salah satu karyanya, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, mengatakan bahwa batasan seseorang dikatakan mampu untuk berkurban adalah ketika sudah memiliki rezeki yang lebih untuk dirinya dan keluarganya, mulai dari pakaian dan makanan, sejak hari raya Idul Adha hingga tiga hari setelahnya (hari tasyrik).
Lebih lanjut, menurut Imam Ibnu Hajar alasan seseorang dikatakan mampu adalah ketika sudah memiliki rezeki yang lebih dari kebutuhannya, karena kurban merupakan bagian dari sedekah. Karena bagian dari sedekah, maka orang yang hendak berkurban harus tercukupi semua kebutuhannya mulai dari hari raya hingga hari tasyrik,
وَلَا بُدَّ أَنْ تَكُونَ فَاضِلَةً عَنْ حَاجَتِهِ وَحَاجَةِ مَنْ يُمَوِّنُهُ لِأَنَّهَا نَوْعُ صَدَقَةٍ
Artinya, “Dan harus lebih dari kebutuhannya sendiri dan kebutuhan keluarganya, karena kurban bagian dari sedekah.” (Ibnu Hajar, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tt], juz IV, halaman 47).
Dari beberapa penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa batas atau kriteria seseorang dikatakan mampu untuk berkurban adalah jika sudah memiliki rezeki yang lebih dari kebutuhannya, baik kebutuhan dirinya maupun kebutuhan keluarganya. Jika tidak, maka ia tergolong orang-orang yang tidak mampu untuk berkurban. (rdr/nu)





















