Oleh: Tommy TRD – Alumni Magister Ilmu Politik Universitas Andalas (Unand)
Entah siapa yang membuat video viral itu pertama kalinya, tapi mereka layak mendapatkan reward dari kreasinya itu. Saya sendiri baru melihat cuplikan video anak-anak yang memilih calon presidennya itu H-1. Jadi secara termin waktu, itu adalah waktu paling krusial.
Menariknya lagi, hanya Prabroro dan Jangkar yang menjadi opsi anak-anak itu, melambangkan Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo.
Seolah-olah calon presiden itu hanya 2 orang. Tidak ada nama Anies yang disebut dengan tidak benar di video itu.
Secara marketing politik, maka video viral itu ‘memasarkan’ Prabowo dan Ganjar, minus Anies. Dan seperti yang sudah dituliskan di atas, waktu kemunculannya pun benar-benar di waktu yang krusial, prime time.
Alhasil, pengalaman pribadi saya melihat sendiri, H-1 hingga hari H dan H+1, nama Prabroro dan Jangkar tetap menjadi sebutan. Bagi anak-anak yang sedang bermain bola, atau sebagai bahan lucu-lucuan bagi orang yang sedang ngopi di coffee shop ternama.
“Pokoknya Prabroro jadi presiden,” ucap bocah yang sedang bermain bola di sebuah halaman musala.
“Siapa yang menang ?”, “Prabroro !,” ujar sebuah percakapan dua pria di sebuah coffee shop.
Entah video itu by design atau memang spontan saja. Tapi, it works. Prabroro mengisi ruang-ruang canda publik. Mengalahkan ‘omon-omon’ dan ‘gemoy’ di saat yang tepat.
Apakah “kamu pilih Prabroro atau Jangkar?” ini turut mempengaruhi keunggulan Prabowo di Pilpres 2024 (berdasarkan data quick count)? Bisa saja. Karena itu bagian dari marketing politik. Sekali lagi, terlepas itu by design atau spontan.
Marketing seperti ini tidak hanya terjadi di politik saja. Ambil contoh ketika supremo F1 Bernie Ecclestone dirampok jam tangan Hublot nya.
Wajahnya yang lebam dipukuli perampoknya, malah menjadi marketing yang efektif dan viral bagi Hublot dan Bernie sendiri.
Atau ketika Nike salah memasang arah logo swoosh nya pada sebuah sepatu Air Jordan. Sepatu yang ‘cacat’ produksi ini malah menjadi sepatu langka yang mahal, dan buruan para kolektor. Jadi fenomena blessing in disguise itu ada.
Hal ini juga membuktikan hal lain, bahwa marketing tidak harus serius melulu. Bahwa politik tidak harus selalu berat. Lihat saja Prabroro dan Jangkar.
Penyebutan nama yang tidak lurus pun ternyata bisa saja mempengaruhi hasil pemilihan presiden negara demokrasi terbesar di dunia.
Jadi kamu pilih Prabroro atau Jangkar? (*)