JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Daryono mengatakan, gempa megathrust di Indonesia tinggal menunggu waktu.
Hal tersebut ia sampaikan ketika menyinggung kekhawatiran ilmuwan Indonesia soal seismic gap Megathrust Selat Sunda dan Megathrust Mentawai-Siberut.
Seismic gap, katanya, merupakan wilayah di sepanjang batas lempeng aktif yang tidak mengalami gempa besar atau gempa selama lebih dari 30 tahun.
Pihaknya memprediksi, Megathrust Selat Sunda bisa memicu gempa dahsyat dengan kekuatan maksimal M 8,7 dan Megathrust Mentawai-Siberut magnitudo 8,9.
“Rilis gempa di kedua segmen megathrust ini boleh dikata ‘tinggal menunggu waktu’ karena kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar,” kata Daryono dalam keterangan resminya, Minggu (11/8/2024) siang.
Terdapat kemungkinan gempa akibat Megathrust Selat Sunda memicu tsunami yang lebih tinggi ketika gempa dengan magnitudo 9,3 yang melanda Aceh pada 2004 silam.
Selain itu, Megathrust Mentawai-Siberut berpotensi memicu gempa besar di masa yang akan datang pernah menimbulkan beberapa bencana sejak 1994.
Megathrust di wilayah Sumatera tersebut pernah menyebabkan gempa M 8,5 di Nias pada 1994, M 7,9 di Lampung-Bengkulu pada 2000, M 9,3 di Aceh pada 2004, dan M 8,7 di Bengkulu.
Megathrust Mentawai-Siberut juga pernah menyebabkan gempa berkekuatan M 7,3 di Kepulauan Mentawai pada Selasa (25/4/2023) pukul 03.00 WIB.
Pada saat itu, Daryono mengatakan, gempa di wilayah tersebut merupakan rangkaian gempa yang telah diprediksi para ilmuwan.
“Karena memang hanya di segmen (zona megathrust segmen Mentawai-Siberut) ini yang energi (gempa bumi) terkonsentrasi dan belum release (muncul) di bagian Sumatera. Hanya satu-satunya di Mentawai-Siberut yang belum rilis (gempa). Jadi gempa hari ini (Selasa) merupakan bagian dari rangkaian gempa zona megathrust di Segmen Mentawai-Siberut,” katanya.
Daryono menjelaskan, gempa paling besar yang yang dipicu oleh Megathrust Mentawai-Siberut terjadi pada 10 Februari 1797.
Pada saat itu, kekuatan gempa mencapai M 8,5 dan menimbulkan tsunami besar sehingga lebih dari 300 orang meninggal.
“Artinya, sudah lebih dari 300 tahun di zona ini tidak terjadi gempa besar sehingga wajar jika para ahli menjadikan zona ini sebagai the big one yang mana menjadi perhatian para ahli,” katanya.
Langkah preventif
Terkait potensi gempa besar dan tsunami akibat megathrust, Daryono menyampaikan, BMKG sudah menyiapkan system monitoring, processing, dan diseminasi informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami yang semakin cepat dan akurat.
Upaya lainnya adalah memberikan edukasi, pelatihan mitigasi, drill, evakuasi, berbasis pemodelan tsunami kepada pemerintah daerah, stakeholder, masyarakat, pelaku usaha pariwisata pantai, dan industri pantai serta infrastruktur kritis, seperti pelabuhan dan bandara pantai.
Kegiatan tersebut dikemas dalam kegiatan Sekolah Lapang Gempa Bumi dan Tsunami (SLG), BMKG Goes To School (BGTS), dan Pembentukan Masyarakat Siaga tsunami atau Tsunami Ready Community.
“Harapan kami, semoga upaya kita dalam memitigasi bencana gempa bumi dan tsunami dapat berhasil dengan dapat menekan sekecil mungkin risiko dampak bencana yang mungkin terjadi, bahkan hingga dapat menciptakan zero victim,” katanya
Menurut Perekayasa di Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Widjo Kongko, Megathrust Selat Sunda memang berpotensi menyebabkan gempa besar berkekuatan M 8,7.
Namun, tidak menutup kemungkinan kekuatan gempa di wilayah tersebut mencapai M 9 atau lebih.
Hal tersebut bisa terjadi apabila terjadinya gempa akibat Megathrust Selat Sunda bersamaan dengan segmentasi yang berada di atasnya, yaitu Megathrust Enggano di Bengkulu dan sebelah timurnya, yaitu Megathrust Jawa Barat-Tengah.
“Energi yang dihasilkan dari potensi gempa itu mirip dengan gempa bumi dan tsunami Aceh 2004,” katanya dinukil dari laman Kompas.com, Selasa (13/8/2024) malam. (rdr)