“Kalau ukuran suhu meningkat itu harus ada ukurannya, tidak boleh dari feeling. Dari pengukuran BMKG tidak ada yang berbeda terlalu jauh,” ujarnya.
Menurut Guswanto, masyarakat perlu waspada terhadap variasi suhu harian antara suhu maksimum di siang hari dan suhu minimum pada malam hari.
“(Dampak equinox) mungkin variasi antara suhu maksimum dan minimum itu makin lebar,” tuturnya.
Sebagai contoh, hasil pengamatan BMKG antara Agustus-September 2024 menunjukkan, suhu maksimum berkisar 36,2-36,6 derajat Celsius di Stasiun Meteorologi Ahmad Yani Semarang, Jawa Tengah.
Pada 20 hingga 21 September 2024 pukul 07.00 WIB, suhu maksimum harian tertinggi di Indonesia mencapai 37,0 derajat Celsius di Stasiun Meteorologi Pangsuma, Kalimantan Barat.
Sementara, suhu minimum terjadi sekitar 12,9 derajat Celsius di Frans Lega Ruteng, Nusa Tenggara Timur pada Agustus, serta 15,0 derajat Celsius di Jaya Wijaya, Papua pada September 2024.
Guswanto mengungkapkan, fenomena equinox juga tidak menimbulkan dampak pada musim di Indonesia. Bahkan, fenomena ini menjadi tanda akan beralihnya musim di Indonesia.
Pada 21 Maret, equinox merupakan tanda peralihan gerak semu Matahari yang melintas dari belahan Bumi selatan menuju belahan Bumi utara. Di Indonesia, pergerakan semu Matahari tersebut menjadi pertanda peralihan dari musim hujan ke kemarau.
Di sisi lain, pada 23 September, equinox menjadi tanda peralihan dari musim kemarau menuju musim hujan di mana Matahari bergerak dari belahan Bumi utara menuju selatan.
“Dampaknya, karena jaraknya itu dekat, maka equinoix akan mengakibatkan penyinaran Matahari secara optimum,” terang Guswanto.
“Kalau optimum, maka di belahan Bumi selatan atau di ekuator akan terjadi banyak penguapan. Kalau sudah terjadi banyak penguapan, biasanya nanti berpotensi terjadinya hujan,” sambungnya. (rdr)