Dalam ajang World Water Forum ke-10 ini, Pemerintah Indonesia menginisiasi adanya Dana Air Dunia atau Global Water Fund sebagai jawaban atas ketidakmerataan akses air bersih di negara-negara yang rentan.
Sebagai tuan rumah sekaligus bagian dari G20, Indonesia mempunyai peluang serta daya tawar (bargaining power) dalam mengusulkan Global Water Fund ke dalam pembahasan forum internasional.
Dalam wawancara khusus bersama ANTARA, Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna, membeberkan bahwa secara konsep, Global Water Fund akan sama seperti program pembiayaan sejenis.
Nantinya, Global Water Fund mempunyai cakupan di seluruh negara. Dana para donatur akan dimobilisasi atau ‘diputar’ guna membiayai proyek-proyek infrastruktur di sektor sumber daya air dan sanitasi.
“Dengan dibentuk Global Water Fund, yang diharapkan kita bisa memobilisasi resources, jadi ada negara-negara yang butuh, mungkin ada juga negara-negara yang dari sisi pendanaan berlebih ini bisa dilakukan secara cross-sectoral dan sifatnya dananya bergulir, sifatnya adalah investasi,” katanya.
Di samping itu, Global Water Fund dapat menjadi langkah untuk meningkatkan skala atau ‘scale up’ suatu proyek infrastruktur air. Dengan skema tersebut, maka proyek dapat lebih berjalan secara berkelanjutan.
Menakar langkah diplomatis Indonesia dalam menawarkan pembentukan Global Water Fund di World Water Forum tahun ini, maka program ini mempunyai peluang untuk terealisasi. Program ini memerlukan kolaborasi yang luas, melintasi batas negara maju dan genggaman tangan para investor swasta.
Meskipun telah mendapat angin segar dari lembaga-lembaga internasional ternama seperti Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), mekanisme dan aturan Global Water Fund harus dirancang dan ditulis dengan jelas. Tahap ini lah yang masih belum dirancang baik oleh Pemerintah Indonesia.
Kualitas dan kapasitas institusi yang ditunjuk untuk menaungi program Global Water Fund menjadi kunci utama. Ekonom Senior Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Teuku Riefky menilai, tanpa adanya institusi yang stabil sebagai penopang, maka pengelolaan dana proyek infrastruktur air hanyalah angan-angan belaka.
Mengingat Pandemic Fund yang berada di bawah naungan Bank Dunia dan G20, program tersebut berjalan dengan lancar. Pun dengan Global Water Fund yang tentu membutuhkan institusi penopang yang juga tangguh.
“Kita melihat Pandemic Fund yang dikelola oleh World Bank dan G20 berjalan dengan efektif. Tanpa institusi yang berkualitas, dana ini bisa jadi sia-sia,” ungkap Riefky.
Kemudian, tantangan selanjutnya yang perlu menjadi sorotan lain yakni perlunya memperluas akses riset terkait pangkal masalah krisis air hingga teknologi dalam infrastruktur yang mampu menyelesaikannya. Bagaimanapun, pembuatan kebijakan konservasi air harus berlandaskan data-data yang valid serta riset mendalam.
Dalam pidato pembukanya di ajang World Water Forum ke-10, pendiri sekaligus CEO Tesla dan SpaceX, Elon Musk, juga menyampaikan bahwa permasalahan air dunia saat ini sebenarnya dapat diselesaikan dengan metode desalinasi air laut, mengingat 72 persen permukaan bumi merupakan perairan.
Desalinasi air laut sendiri merupakan proses menghilangkan kadar garam dari air sehingga air tersebut menjadi air bersih yang dapat dikonsumsi masyarakat. Proses desalinasi sebenarnya dinilai sebagai proses yang membutuhkan energi dan mahal. Namun proses tersebut dapat diterapkan dengan efektif dan murah apabila memanfaatkan energi surya.
Dengan kata lain, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dapat menjadi solusi yang jitu dan murah untuk menyelesaikan krisis air melalui desalinasi air laut. Namun, metode tersebut hingga saat ini masih dalam tahap penelitian lebih lanjut dan uji coba.
Kolaborasi bersama menjadi kunci
Di tengah urgensi krisis air yang melanda negara-negara rentan seperti India dan Indonesia, kolaborasi lintas sektor dan komitmen bersama menjadi pondasi utama dalam upaya mencapai akses air bersih yang adil.
Global Water Fund yang diusulkan dalam World Water Forum ke-10 menawarkan harapan baru dengan menyediakan sumber daya yang sangat diperlukan untuk membangun infrastruktur air. Namun, keberhasilan program ini bergantung pada kesediaan semua pihak untuk memprioritaskan pembangunan jangka panjang alih-alih mencari keuntungan instan.
Contoh yang telah ditunjukkan oleh Dana Air Indonesia atau Indonesia Water Fund menggarisbawahi pentingnya komitmen nasional dalam menangani masalah air dan sanitasi.
Investasi dalam infrastruktur air harus dipandang sebagai usaha jangka panjang yang membutuhkan waktu, dedikasi, dan kesabaran hingga 10 hingga 15 tahun. Selain itu, dukungan terhadap riset teknologi infrastruktur air harus terus dikuatkan. Kolaborasi antara stakeholder dan akademisi sangat krusial untuk memastikan teknologi manajemen air yang inovatif dapat diimplementasikan secara efektif.
Dari segi riset, melalui diskusi dan panel yang intensif di World Water Forum ke-10, para akademisi telah menawarkan berbagai ide dan solusi teknologi yang siap dikembangkan.
Kini, saatnya bagi semua pihak untuk memprioritaskan kolaborasi dan mengambil langkah nyata. Hanya dengan kolaborasi global yang terkoordinasi, tujuan mulia untuk menyediakan akses air bersih yang adil bagi semua di seluruh dunia dapat tercapai. (rdr/ant)