JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Agresi brutal Israel terhadap rakyat Palestina yang genap setahun hari ini masih menjadi salah satu isu terbesar di dunia lantaran sederet pelanggaran yang dilakukan rezim zionis terhadap Palestina.
Kecaman dan aksi protes dari seluruh dunia atas perbuatan Israel tidak menghentikan serangan oleh pasukan pendudukan, bahkan mereka terus melancarkan serangan dari berbagai arah terhadap wilayah-wilayah pendudukan Palestina.
Gencatan senjata di Gaza yang sudah disepakati berkali-kali oleh pihak bertikai, juga tidak mampu menghentikan perang, yang malah merembet ke sejumlah negara lain seperti Iran dan Lebanon sehingga membuat situasi di kawasan semakin memanas.
Konflik Israel dan Kelompok perjuangan Palestina Hamas masih berlangsung tanpa adanya tanda-tanda perang akan reda dan itu artinya korban masih akan terus berjatuhan. Warga sipil dan anak-anak menjadi korban terbesar dalam perang Israel di wilayah Palestina.
Perlindungan anak dalam perang diatur dalam Konvensi Hak Anak (KHA) dan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak mengenai Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata.
Konvensi Hak Anak diadopsi, ditandatangani, diratifikasi, dan diakses oleh resolusi Majelis Umum PBB pada 20 November 1989 dan mulai berlaku pada 2 September 1990. Konvensi tersebut menjamin hak anak di berbagai bidang, termasuk hak hidup, hak perlindungan, hak tumbuh kembang dan hak partisipasi.
Sementara itu, Protokol Opsional Konvensi Hak Anak mengenai Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata mengatur bahwa anak di bawah 18 tahun tidak boleh direkrut atau digunakan dalam permusuhan oleh kelompok bersenjata.
Pengamat Timur Tengah Muhammad Syaroni Rofii menilai bahwa apa yang terjadi saat ini di Gaza merupakan tragedi kemanusiaan Abad 21 karena Israel telah melanggar norma internasional serta dapat dibuktikan di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Hag, Belanda.
Menurutnya, perempuan dan anak-anak di Gaza menjadi kelompok yang paling rentan dalam situasi konflik bersenjata. “Apalagi anak-anak Gaza tidak dilindungi oleh militer yang sepadan dengan kekuatan Israel”, katanya.
Dia mengatakan dampak konflik Israel-Palestina akan terus tinggal di benak anak-anak hingga mereka dewasa. “Memori perang akan terus membayangi. Tidak bagus untuk perdamaian,” ucapnya.
Syaroni menilai bahwa upaya penyelamatan anak-anak di Gaza oleh sebagian lembaga internasional, baik yang berada di bawah naungan PBB atau NGO lainnya, masih belum cukup karena sifat serangan yang massif dan sudah berlangsung selama tahun lebih.
“PBB harus memastikan ada koridor kemanusiaan untuk memastikan serangan militer tidak menyasar sipil. Akses NGO internasional diperluas untuk memudahkan akses bantuan masuk dan solusi ini bisa diperkuat melalui resolusi DK PBB,” katanya.
Lebih lanjut, dia berharap agar pemerintah Indonesia dapat selalu menjadi pembela orang-orang yang lemah di bawah bendera global justice karena hal itu senafas dengan konstitusi Indonesia, sehingga melalui cara tersebut Indonesia dapat menjadi motor penggerak diplomasi global untuk isu kemanusiaan pada periode, di mana negara besar cenderung ambivalen.
Nasib anak-anak Palestina
Otoritas kesehatan Palestina mengonfirmasi bahwa pada 6 Oktober korban tewas akibat serangan Israel terus meningkat menjadi 41.870 orang, dengan tambahan 97.166 orang mengalami luka-luka.
Sementara itu, berdasarkan data otoritas Palestina, per 29 September sekitar 17.000 anak Palestina kehilangan nyawa akibat serangan Israel di Jalur Gaza sejak Oktober 2023.