JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Perjuangan bule asal Skotlandia untuk menjadi mualaf dan memakai hijab rupanya sangat berliku hingga dianggap buruk oleh ibunya. Uniknya, perkenalannya dengan Islam dimulai saat ditawari lumpia oleh para sahabat. Seperti apa kisahnya?
Maya Wallace menjadi seorang mualaf pada tahun 2009 silam. Gadis bule ini mulai mengenal Islam dari teman-teman kerjanya yang akhirnya mengantarkan ia untuk bersyahadat di masjid. “Aku pergi ke masjid dengan temanku dan aku mengucap syahadat dengan bercucuran air mata bahagia. Kami semua menangis. Jadi pada 2009 aku akhirnya kembali pada Islam,” ujarnya dikutip dari kanal YouTube Ape Astronout, Selasa, 16 November 2021.
Sebelum memegang teguh menjadi mualaf, Maya sempat tak menyukai agama Islam. Di bangku SMA, Maya mengaku cukup lega saat tak harus belajar agama Islam lantaran tak menyukai agama tersebut. Bahkan, ia merasa membenci Islam dan menilai muslim hanyalah kaum penuh teror.
“SMA-ku tidak ajari Islam karena tidak ada guru rohani Islam. Tapi aku tidak senang dengan Islam karena Islam itu biadab. Para muslim adalah orang sinting, hanya kelompok teror, mereka suka meledakan bangunan. Jadi aku cukup senang tidak mempelajari Islam. Cukup ironis karena sekarang aku seorang muslim,” tambahnya.
Maya sendiri menjalani kehidupan remaja pada umumnya di Skotlandia. Seperti remaja setempat, Maya bersosialisasi di kelab-kelab malam dan tak segan minum alkohol. Namun, di tahun 2005, menjadi perkenalan pertamanya dengan agama Islam.
“Aku mulai bekerja sebagai call center. Mayoritas pegawai di sana adalah orang Pakistan dan mereka muslim. Dan mereka tidak sinting. Mereka tidak seperti yang aku bayangkan. Mereka jadi teman baikku. Di situlah aku merasa memiliki persahabatan sejati dan mereka sangat menyayangiku,” kenangnya.
Pada awal, Maya dan teman-teman kantornya itu hanya menjalani pertemanan biasa. Namun, Maya kerap memperhatikan kebiasaan teman-teman muslim yang selalu melakukan segala hal dengan terhormat. Sikap itu yang membuat Maya mulai memandang beda pada Islam.
“Salah satu momen yang paling berkesan adalah saat Ramadhan. Mereka mau buka puasa bersama. Salah satu sahabatku Sam Shayma menyodorkan sekotak lumpia dan menawarkan padaku. Itu merupakan momen yang sangat berkesan bagiku,” tuturnya.
“Aku yang makan seharian, bahkan mungkin tak sadar telah minum air atau lainnya di hadapan mereka malah ditawari makanan dan diajak buka bersama. Itu momen berkesan. Setelah itu aku sangat penasaran,” imbuh Maya.
Maya pun mulai bertanya banyak hal soal Islam dan sikap agama Islam terhadap penganutnya. Menurutnya, sikap temannya yang menawari lumpia itu membuatnya merasa sangat dihormati dan membuat ia berpikir bahwa kebaikan ini adalah bagian dari Islam. Rentetan pertanyaan dengan sigap dijawab oleh teman-temannya.
Namun, yang berbeda dari sikap penganut agama lain, Maya selalu mendengar jawaban dari pertanyaannya berdasarkan dalil. Baik itu hadist, Quran dan sunnah di Islam serta tak pernah ada kalimat penekanan yang memaksa Maya percaya pada jawaban tersebut.
“Mereka katakan, ini yang Quran katakan, sunnahnya begini, ini dinyatakan di hadist. Mereka menjawab semua berdasarkan dalil. Mereka tak pernah katakan ‘Pokoknya percaya saja, cukup imani saja’. Mereka tidak katakan itu dan memberi jawaban tepat. Jika mereka tidak mengetahuinya, mereka akan mencari tahu atau dengan rendah hati bilang tidak tahu,” jelasnya.
“Jadi di sini aku berdiri di hadapan Islam dan ia adalah kebenaran. Aku tak bisa menyangkal bahwa Islam merupakan kebenaran. Namun, aku belum siap menjadi seorang muslim,” tegasnya.
Akan tetapi, Maya merasa sekadar mempelajari Islam belum cukup untuk dirinya mengenal Sang Pencipta. Terlebih, ia meyakini bahwa Islam adalah jalan hidup yang sudah seharusnya ia jadikan sebagai jati diri. Perasaan ragu masih ada di benak Maya dan itu hal wajar. Sehingga Maya mulai menjalani komitmen dengan menjalani ‘Masa Percobaan’.
“Aku berencana melakukan percobaan guna mengetahui apakah aku mampu untuk menjalankan apa yang diwajibkan oleh Islam padaku. Diawali dengan hal yang mudah kulakukan seperti berhenti mengonsumsi daging yang diharamkan. Karena aku seorang vegetarian, itu tidak terlalu sulit bagiku. Kemudian berhenti minum alkohol lalu berhenti mengunjungi kelab malam yang merupakan bagian penting dari kehidupan sosialku,” tuturnya.
Ia pun mulai mengenakan pakaian yang lebih sopan dan secara perlahan merasa mampu menjalaninya. Meski begitu, keraguan masih melanda karena merasa ini akan jadi komitmen seumur hidup pada Allah sehingga butuh waktu lama untuk memiliki keberanian menjadi mualaf. Hal itu khususnya keberanian untuk memberitahu keluarga tercinta.
“Dan Allah berada di tempat di sisiku, juga ketakutanku hilang. Ketakutanku adalah memberitahu keluargaku. Selama beberapa pekan aku tak bisa memberitahu ibuku. Kemudian jelang Ramadhan, aku ingin masuk Islam, aku ingin puasa di bulan itu serta ingin merasakan nuansa Ramadhan. Jadi beberapa pekan sebelum Ramadhan, aku mengumpulkan nyawa untuk memberi tahu beliau,” tuturnya.
“Alhamdulillah beliau menerima, beliau hanya bertanya mengapa. Kami tidak diskusi panjang karena kami bukan keluarga yang membicarakan hal-hal secara mendalam. Namun aku merasakan kelegaan,” imbuhnya.
Secara perlahan pula, keinginan berhijab terlintas di benaknya dan mulai mempelajari soal itu. Pada awalnya, Maya belum memahami konsep Islam dan apa keperluan hijab bagi muslimah. Seorang teman menjawab konsep hijab dengan analogi permen yang dibungkus dan tidak dibungkus. Perlahan tapi pasti, Maya memahami konsep hijab.
“Ini bukanlah sesuatu yang diajarkan padaku selama ini bahwa ini yang apa diinginkam kaum laki-laki, namun ini adalah apa yang Allah inginkan. Ini merupakan perlindungan dan pengaman kami. Aku tak mau pergi keluar rumah tanpa hijab. Menurutku, aku mulai mencintai hijab,” bebernya.
Mirisnya, ketika Maya memberitahu sang ibu, ia mendapat cemooh dengan tangisan ibu di hadapanmya. Melihat ibunya menangis karena ia memakai hijab, membuat Maya merasa sakit. Terlebih, sang ibu menyebut bahwa hijab hanyalah bentuk penindasan pada perempuan.
Maya memilih diam. Karena meski ia sudah memahami konsep hijab, Maya belum mampu mengutarakannya secara jelas dan detail. Hal itu yang akhirnya membulatkan tekad Maya untuk memakai hijab dan keluar dari rumah. Hingga akhirnya, ujian dari Allah itu berhasil ia atasi di momen wisuda.
“Akhir dari perseteruanku dengan keluarga saat wisuda. Semuanya ada di sana dan aku sembunyi karena memakai hijab. Ada keterkejutan dan prihatin di wajah mereka tapi tersirat penerimaan. Saat itulah aku tahu bahwa melalui semua ujian itu, akan ada cahaya di ujung terowongan,” pungkas Maya. (viva.co.id)