AJI dan LBH Pers juga menilai rendahnya upah minimum 2022, dapat mengganggu profesionalisme jurnalis untuk memproduksi karya jurnalistik yang dibutuhkan publik. Upah murah yang tak sesuai kebutuhan, membuat jurnalis rawan menerima suap dan gratifikasi yang mempengaruhi independensi.
Ini bertentangan dengan Undang-Undang Pers dan kaidah etika jurnalistik yang menuntut agar kerja-kerja jurnalis harus profesional, memihak kebenaran dan kepentingan masyarakat luas.
Penentuan upah minimum yang tidak sesuai dengan standar kebutuhan layak ini, menambah daftar panjang pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan kepada pekerja media, khususnya pada masa pandemi. Di Kupang, misalnya, kasus PHK sepihak dialami jurnalis Obed Gerimu dari Harian Timor Express (TIMEX).
Data Posko Pengaduan COVID-19 LBH Pers dan AJI Jakarta pada 2020-2021, sebanyak 254 pekerja mengalami pelanggaran ketenagakerjaan, seperti pemutusan hubungan sepihak, pemutusan kerja tanpa kompensasi, pemotongan upah sepihak, upah tidak dibayarkan, hingga dirumahkan.
Berdasarkan catatan di atas, AJI Indonesia dan LBH Pers menyatakan sikap menolak upah minimum 2022 dan mendesak agar pemerintah membatalkan penetapan upah minimum yang meliputi UMP, UMR dan UMK tahun 2022 dan mengganti acuan pengupahan tahun 2022 sesuai dengan kebutuhan hidup layak dan kebutuhan saat pandemi Covid-19.
Kemudian, meninjau ulang formulasi penghitungan upah minimum dan membuka ruang selebar-lebarnya kepada setiap elemen pihak pekerja bersama serikat pekerja dalam menentukan upah minimum.
Membatalkan Omnibus Law UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dan PP 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan yang tidak melindungi kesejahteraan pekerja. Lalu, melindungi hak- hak pekerja khususnya pada masa pandemi yang sangat rentan terjadinya berbagai pelanggaran. (rdr)