JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Pencegahan stunting merupakan salah satu agenda strategis nasional untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia.
Pemerintah terus berupaya mensinergikan program-program kementerian/lembaga dengan program Makanan Bergizi Gratis (MBG), dalam upaya menekan angka stunting.
Pelaksana Tugas (Plt) Deputi III Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Nunung Nuryartono, menegaskan bahwa kolaborasi lintas kementerian/lembaga (K/L) menjadi kunci keberhasilan percepatan penurunan angka stunting. Menurutnya, pencegahan stunting membutuhkan koordinasi lintas sektoral.
“Banyak K/L, baik di tingkat pusat maupun daerah, telah menjalankan program terkait. Namun, integrasi dengan MBG menjadi krusial untuk mempercepat target pemerintah, yakni prevalensi stunting di bawah 20% sesuai standar WHO, bahkan hingga 5% pada 2045,” ujarnya dalam Dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang mengangkat tema ‘Makan Bergizi Gratis Solusi Atasi Stunting’, Senin (18/11).
Nunung Nuryartono melanjutkan, program MBG yang akan diluncurkan pada Januari 2025, memiliki cakupan luas yang mencakup anak sekolah, ibu hamil, ibu menyusui, serta balita, kelompok yang juga menjadi sasaran intervensi stunting.
Hal ini sejalan dengan Perpres No. 72 Tahun 2021 tentang percepatan penurunan stunting, yang juga sedang direvisi untuk menyesuaikan dengan kebutuhan terbaru.
Salah satu strategi kunci adalah pemanfaatan data berbasis alamat untuk memastikan intervensi tepat sasaran. Oleh karena itu, kolaborasi berbagai kementerian menjadi penting, karena keberhasilan MBG sangat tergantung pada keselarasan program lintas sektor.
Dalam konteks kebijakan nasional, dia pun menegaskan pentingnya pemutakhiran data dan pengawasan pelaksanaan program.
Pemerintah telah memetakan titik prioritas berdasarkan data prevalensi stunting, sehingga alokasi anggaran dapat lebih tepat sasaran. Salah satu inovasi yang menarik adalah integrasi MBG dengan pemanfaatan pangan lokal.
Nunung mencontohkan daerah yang memanfaatkan pendekatan berbasis komunitas untuk mendukung ketahanan pangan, seperti pengolahan magot sebagai pakan ternak dan pupuk organik yang mendukung produksi pangan lokal.
“Komunitas ini bisa menjadi inspirasi untuk daerah lain, terutama dalam menggerakkan ekonomi lokal sekaligus memenuhi kebutuhan gizi,” tambahnya.
Dia pun menekankan strategi ini juga menjadi solusi untuk daerah terpencil seperti Papua, di mana distribusi logistik sering menjadi kendala.
Dengan mendorong pemanfaatan sumber daya lokal, biaya distribusi dapat ditekan sekaligus memastikan kebutuhan gizi masyarakat terpenuhi.
Intervensi Dini
Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga (KSPK) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), Nopian Andusti, menilai salah satu langkah utama yang ditekankan untuk bisa menurunkan, bahkan mencegah munculnya kasus baru stunting, adalah intervensi dini.
Menurutnya pendekatan ini mencakup seluruh siklus kehidupan, dimulai bahkan sebelum seseorang menjadi orang tua.
“Kami memastikan calon pengantin melakukan pemeriksaan kesehatan tiga bulan sebelum menikah untuk mendeteksi anemia atau kekurangan energi kronis,” ungkapnya.
Deteksi dini ini memungkinkan pemerintah memberikan intervensi berupa suplemen penambah darah atau nutrisi tambahan, sehingga calon ibu berada dalam kondisi optimal saat memasuki masa kehamilan.
Untuk mendukung program ini, BKKBN mengembangkan aplikasi Siap Nikah dan Siap Hamil, yang mempermudah pasangan muda memantau kesiapan fisik dan kesehatannya.
“Dengan pendekatan teknologi, masyarakat dapat lebih mudah memahami risiko yang ada dan menjalani langkah preventif sebelum membangun keluarga,” tambah Nopian.
Sementara itu, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia & Pemerataan, Sekretariat Wakil Presiden RI, Suprayoga Hadi, menyebutkan pemerintah tengah menyusun Strategi Nasional (Stranas) baru yang menekankan pencegahan stunting.
Perubahan paradigma ini akan difokuskan pada lima kelompok sasaran, yakni calon pengantin, remaja putri, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita.
“Perpres baru akan menjadi landasan untuk periode 2025–2029. Selain menekankan pencegahan, kami juga memastikan anggaran benar-benar tersalurkan secara efektif,” sebut dia.
Ia juga menggarisbawahi peran teknologi sebagai alat inovatif dalam menekan angka stunting. Salah satu contoh adalah aplikasi Digital e-Assistance for Stunting Information (DESI), yang menyediakan informasi lengkap mengenai pencegahan dan penanganan stunting.
“Aplikasi ini dapat diakses oleh bidan dan kader keluarga di lapangan untuk membantu mereka memberikan edukasi yang efektif,” ungkapnya.
Selain itu, integrasi digital memungkinkan pemerintah memantau perkembangan program MBG, memastikan distribusi makanan bergizi tepat sasaran, dan memetakan daerah yang membutuhkan pendampingan khusus, seperti Papua.
Program MBG tidak hanya ditujukan untuk mengurangi stunting tetapi juga untuk meningkatkan literasi gizi masyarakat, membangun ketahanan pangan berbasis lokal, dan memaksimalkan peran komunitas dalam pemenuhan kebutuhan gizi.
Dengan sinergi yang kuat, Indonesia optimis dapat mencapai target penurunan stunting menjadi 5% pada 2045, mewujudkan generasi emas Indonesia yang sehat dan berkualitas. (rdr)