JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor PMK-196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) Wajib Pajak pada 22 Desember 2021 dan mengundangkan PMK tersebut pada 23 Desember 2021.
PMK tersebut menjadi peraturan pelaksana dari program pengampunan pajak kedua atau Tax Amnesty (TA) Jilid II yang telah dikenalkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). PPS akan berlaku pada 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengharapkan Wajib Pajak (WP) mengikuti PPS karena program ini memiliki banyak manfaat untuk WP.
“Banyak manfaat yang akan diperoleh WP, di antaranya, terbebas dari sanksi administratif,” tegas dia dikutip dari keterangan tertulisnya, Senin, 27 Desember 2021. Di sisi lain, Neilmaldrin memastikan WP yang mengikuti PPS juga akan mendapatkan perlindungan data.
Data harta yang diungkapkan tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap WP. Menurutnya, konsep yang diusung dalam PPS ini ditujukan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela WP sebelum penegakan hukum dilakukan dengan basis data dari pertukaran data otomatis (AEoI) dan data ILAP yang dimiliki DJP, “PPS diselenggarakan dengan asas kesederhanaan, kepastian hukum, dan kemanfaatan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela WP,” ungkap Neilmaldrin.
Dia pun menekankan, PPS adalah kesempatan yang diberikan kepada WP untuk mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) berdasarkan pengungkapan harta. Adapun ruang lingkup kebijakan ini terbagi dua. Dari sisi peserta dari PPS ini di Kebijakan I adalah WP Orang Pribadi (OP) dan badan peserta Tax Amnesty. Sedangkan pada Kebijakan II adalah hanya WP OP. Program dilaksanakan selama 6 bulan.
Basis pengungkapan Kebijakan I adalah harta per 31 Desember 2015 yang belum diungkapkan saat mengikuti TA sedangkan Kebijakan II hartanya adalah perolehan dari 2016-2020 yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020.
Tarifnya dalam Kebijakan I adalah 11 persen untuk harta deklarasi Luar Negeri (LN), 8 persen untuk harta LN dan harta deklarasi dalam negeri DN dan 6 persen harta LN repatriasi dan harta deklarasi DN yang diinvestasikan dalam SBN/hilirisasi SDA/ renewable energy.
Sedangkan untuk Kebijakan II tarifnya 18 persen untuk harta deklarasi LN dan 14 persen untuk harta LN repatriasi dan deklarasi DN. Kemudian 12 persen untuk harta LN repatriasi dan harta deklarasi DN yang diinvestasikan dalam SBN/hilirisasi SDA/renewable energy.
Untuk kebijakan II ini, WP harus memenuhi syarat tidak sedang diperiksa atau dilakukan pemeriksaan bukti permulaan untuk tahun pajak 2016, 2017, 2018, 2019, dan 2020. Tidak sedang dilakukan penyidikan, dalam proses peradilan, atau sedang menjalani tindak pidana di bidang perpajakan. (viva.co.id)