“Ya bisa seperti itu [Jabar seperti Sumbar]. Karena kalau kita lihat juga cara komunikasi PDIP itu mereka cenderung bertahan. Artinya selalu berupaya membela diri. Selalu kalau mereka statement-nya dapat respons negatif, mereka selalu berusaha mempertahankan, kurang punya empati, dan itu membuat warga mungkin semakin jengkel,” ujar Jamiluddin.
Terpisah, Pengamat Politik dari Universitas Padjadjaran Kunto Adi Wibowo menilai polemik polah Arteria Dahlan kemungkinan tetap bisa menjadi salah satu pemicu turunnya elektabilitas suara partai PDIP di Jabar pada 2024 mendatang. Namun demikian ia menilai tidak sebesar itu ‘Arteria Effect’.
“Jadi di 2019, PDIP itu sudah turun ya, yang biasanya puncak klasemen, dia selalu perolehan tertinggi, 2019 sudah disalip oleh Gerindra. Jadi kalau menurut saya trennya akan menurun? iya. Tapi apakah karena Arteria Dahlan? mungkin itu hanya salah satu dari sekian banyak,” kata Kunto kepada CNNIndonesia.com, Jumat (21/1).
Kunto yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif lembaga survei KedaiKOPI itu melihat pola-pola pemilih di Jabar masih cenderung mengambang dan fokus pada tokoh partai politik, bukan personal.
Ia menyebut, warga di Jabar dan mayoritas masyarakat Indonesia menentukan pilihan partai berdasarkan tokoh sentral. Seperti pada saat 2009, suara Partai Demokrat tinggi di Jabar dengan pemicu tokoh sentral Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon presiden petahana saat itu. PDIP kala itu menduduki posisi ketiga di Jabar.
Kemudian, pada 2014 warga kemudian bergeser ke PDIP karena Joko Widodo (Jokowi) yang kala itu menjadi calon presiden berasal dari PDIP. Namun, kemungkinan warga merasa kecewa atas masa kepemimpinan satu periode Jokowi.
Kemungkinan itu lah menurut Kunto, membuat suara PDIP pada kontestasi politik 2019 ikut turun, dan digeser telak oleh Gerindra yang saat itu menjadi asal partai calon presiden saingan, yakni Prabowo Subianto. “Catatan saya, kalau pemilih PDIP di daerah Jabar termasuk mereka yang punya argumen begini, ‘ketika banyak kepala daerah dari PDIP atau politisi PDIP yang terkena kasus korupsi, PDIP tetap tinggi’,” jelas Kunto.
“Mereka floating mass. Jadi karena menurut mereka, yang korupsi bukan Bu Megawati. Jadi kalau pun Arteria Dahlan melakukan ini, yang menghina Sunda kan bukan bu Megawati. Jadi menurut saya, kantong-kantong PDIP di Jabar terutama yang daerah Pantura masih tinggi,” imbuhnya.
Apalagi menurutnya momentum kontestasi politik 2024 masih cukup lama dengan polemik kasus kader PDIP, Arteria. Kendati demikian, tak menutup kemungkinan polah Arteria ini bisa dijadikan modal serangan lawan dalam berkampanye kelak.
Ditambah, Arteria tak hanya sekali menuai kontroversi. Mulai dari dirinya yang sempat meminta KPK memanggil anggota dewan dengan sebutan ‘Yang terhormat’, memaki ekonom Emil Salim pada acara televisi, hingga mendorong agar penegak hukum tidak boleh terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK.
“Namun ya itu, warga Jabar melihat masih tokoh kebanyakan. Bahkan, mereka akan sangat melihat tokoh dari pada platform partai seperti visi-misi, ideologi, program, itu nomor sekian ya. Apalagi Arteria dapil bukan di Jabar ya, di Jatim, bahkan ke Arteria sekalipun itu tidak akan berefek banyak mungkin,” pungkasnya. (cnnindonesia.com)