JAKARTA, RADARSUSMBAR.COM – Anggota Komisi III DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Arteria Dahlan kembali menuai polemik usai mendesak Jaksa Agung ST Burhanuddin mencopot seorang kepala kejaksaan tinggi (Kajati) yang berbahasa Sunda dalam rapat.
Sikap Arteria itu lantas dinilai sebagai antipati yang kemudian menyulut amarah masyarakat Jabar khususnya suku Sunda. Arteria langsung mendapat sentilan bahkan dari rekan partainya di daerah pilihan (Dapil) Jabar dan hingga Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Merasa tersinggung, Majelis Adat Sunda bersama perwakilan adat Minang dan sejumlah komunitas adat kesundaan melayangkan laporan ke Polda Jabar pada Kamis (20/1) kemarin.
Bahkan, baliho bertuliskan ‘Arteria Dahlan Musuh Orang Sunda’ terpampang di sejumlah ruas jalan di Kota Bandung sejak 19 Januari lalu. Arteria kemudian meminta maaf kepada masyarakat Jabar pada Kamis (20/1) sore. Permintaan maaf itu disampaikan Arteria usai memberikan klarifikasi di hadapan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto dan Ketua DPP PDIP, Komarudin Watubun. DPP PDIP juga memutuskan menjatuhkan sanksi peringatan atas ulah Arteria itu.
Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga lantas menilai polah Arteria yang menimbulkan polemik di masyarakat bakal berpengaruh terhadap elektabilitas suara PDIP di Bumi Pasundan pada pemilu 2024 nanti. Apalagi, kali ini Arteria menyinggung soal Sunda yang notabenenya identitas mayoritas warga Jabar. “Saya rasa akan ada stimulus negatif bagi Jabar, tentu ini diperkirakan makin merosot elektabilitas PDIP khususnya di Jabar,” kata Jamiluddin kepada CNNIndonesia.com, Kamis (20/1).
Jamaluddin melihat Arteria merupakan elite PDIP yang sering sekali blunder dalam memberi pernyataan dan mengabaikan prinsip komunikasi lintas budaya. Jamiluddin mengatakan, elektabilitas PDIP di Jabar yang sempat jaya pada 2014 silam sudah mengalami penurunan pada 2019 lalu. Rekapitulasi hasil pemilu legislatif di 2019 menunjukkan suara PDIP turun posisi kedua lantaran disalip partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Gerindra mengungguli 15 partai politik lain dengan perolehan dukungan mencapai 4.320.050 suara. Sementara PDIP menyusul dengan raihan 3.510.525 suara, dan di urutan ketiga, ada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mendapatkan 3.286.606 suara. Jumlah pemilih di Jabar kala kontestasi politik 2019 itu tercatat sebanyak 34.610.297. Dari jumlah yang dilaporkan itu, yang menggunakan hak pilihnya mencapai 27.476.079 orang.
Dengan kondisi itu, Jamiluddin menilai bukan hal muskil suara PDIP di Jabar akan kembali merosot. Apalagi dalam beberapa waktu terakhir, banyak kader PDIP yang tersandung kasus. Seperti yang santer dibicarakan masyarakat adalah Harun Masiku dan Eks Menteri Sosial Juliari Batubara.
“Karena ada kecenderungan masyarakat kita, di Indonesia, itu menggeneralisir. Jadi kalau itu yang melakukan blunder si A, korupsi si B, orang kerap kali mengaitkan organisasi atau partai yang melindunginya. Terutama di era sosial media yang awam pun bisa membaca informasi,” jelasnya.
Mantan Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta itu lantas menilai sekalipun Arteria telah meminta maaf secara khusus kepada publik, namun ia rasa publik tidak akan segampang itu memberikan maaf terhadap Anggota DPR RI periode 2019-2024 yang mewakili daerah pemilihan Jawa Timur VI itu.
Bahkan, Jamiluddin menilai polemik Arteria yang dirasa menyinggung identitas suku ini bisa berbuntut seperti sentimen masyarakat Sumatera Barat (Sumbar) kepada PDIP. Sebagaimana diketahui, suara PDIP di Tanah Minang cenderung kecil bahkan tak sampai 5 persen pada 2019 silam. Permasalahan PDIP dengan Sumbar juga sempat berlarut-larut usai tokoh-tokoh sentral PDIP seperti Ketua DPR RI Puan Maharani hingga Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengeluarkan pernyataan yang acapkali juga menuai ketersinggungan bagi masyarakat Minang.
“Ya bisa seperti itu [Jabar seperti Sumbar]. Karena kalau kita lihat juga cara komunikasi PDIP itu mereka cenderung bertahan. Artinya selalu berupaya membela diri. Selalu kalau mereka statement-nya dapat respons negatif, mereka selalu berusaha mempertahankan, kurang punya empati, dan itu membuat warga mungkin semakin jengkel,” ujar Jamiluddin.
Terpisah, Pengamat Politik dari Universitas Padjadjaran Kunto Adi Wibowo menilai polemik polah Arteria Dahlan kemungkinan tetap bisa menjadi salah satu pemicu turunnya elektabilitas suara partai PDIP di Jabar pada 2024 mendatang. Namun demikian ia menilai tidak sebesar itu ‘Arteria Effect’.
“Jadi di 2019, PDIP itu sudah turun ya, yang biasanya puncak klasemen, dia selalu perolehan tertinggi, 2019 sudah disalip oleh Gerindra. Jadi kalau menurut saya trennya akan menurun? iya. Tapi apakah karena Arteria Dahlan? mungkin itu hanya salah satu dari sekian banyak,” kata Kunto kepada CNNIndonesia.com, Jumat (21/1).
Kunto yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif lembaga survei KedaiKOPI itu melihat pola-pola pemilih di Jabar masih cenderung mengambang dan fokus pada tokoh partai politik, bukan personal.
Ia menyebut, warga di Jabar dan mayoritas masyarakat Indonesia menentukan pilihan partai berdasarkan tokoh sentral. Seperti pada saat 2009, suara Partai Demokrat tinggi di Jabar dengan pemicu tokoh sentral Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon presiden petahana saat itu. PDIP kala itu menduduki posisi ketiga di Jabar.
Kemudian, pada 2014 warga kemudian bergeser ke PDIP karena Joko Widodo (Jokowi) yang kala itu menjadi calon presiden berasal dari PDIP. Namun, kemungkinan warga merasa kecewa atas masa kepemimpinan satu periode Jokowi.
Kemungkinan itu lah menurut Kunto, membuat suara PDIP pada kontestasi politik 2019 ikut turun, dan digeser telak oleh Gerindra yang saat itu menjadi asal partai calon presiden saingan, yakni Prabowo Subianto. “Catatan saya, kalau pemilih PDIP di daerah Jabar termasuk mereka yang punya argumen begini, ‘ketika banyak kepala daerah dari PDIP atau politisi PDIP yang terkena kasus korupsi, PDIP tetap tinggi’,” jelas Kunto.
“Mereka floating mass. Jadi karena menurut mereka, yang korupsi bukan Bu Megawati. Jadi kalau pun Arteria Dahlan melakukan ini, yang menghina Sunda kan bukan bu Megawati. Jadi menurut saya, kantong-kantong PDIP di Jabar terutama yang daerah Pantura masih tinggi,” imbuhnya.
Apalagi menurutnya momentum kontestasi politik 2024 masih cukup lama dengan polemik kasus kader PDIP, Arteria. Kendati demikian, tak menutup kemungkinan polah Arteria ini bisa dijadikan modal serangan lawan dalam berkampanye kelak.
Ditambah, Arteria tak hanya sekali menuai kontroversi. Mulai dari dirinya yang sempat meminta KPK memanggil anggota dewan dengan sebutan ‘Yang terhormat’, memaki ekonom Emil Salim pada acara televisi, hingga mendorong agar penegak hukum tidak boleh terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK.
“Namun ya itu, warga Jabar melihat masih tokoh kebanyakan. Bahkan, mereka akan sangat melihat tokoh dari pada platform partai seperti visi-misi, ideologi, program, itu nomor sekian ya. Apalagi Arteria dapil bukan di Jabar ya, di Jatim, bahkan ke Arteria sekalipun itu tidak akan berefek banyak mungkin,” pungkasnya. (cnnindonesia.com)