Selain itu, kata Listyo, indeks risiko pelaku terorisme saat ini berada di angka 30,29 persen dari target RPJMN sebanyak 38,14 persen.
Kinerja Densus, kata dia, memberikan multiplier effect bagi peningkatan situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di Indonesia. “Tentunya stabilitas kamtibmas ini menjadi modal dasar dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Karena salah satu modal investasi baik asing dan dalam negeri,” jelasnya.
Diketahui, di tahun 2020 Densus 88 telah menangkap 232 tersangka kasus terorisme. Sementara, 2021 setidaknya ada penangkapan tersangka terorisme sebanyak 370 orang. Dalam beberapa waktu terakhir, kinerja Densus sempat mendapat perhatian. Teranyar, Densus menangkap kader Partai Ummat berinisial RH di Bengkulu karena diduga terlibat jaringan teroris.
Partai Ummat langsung bereaksi. Mereka meminta agar pemerintah mengevaluasi kinerja Densus 88.
Sekjen Partai Ummat Ahmad Muhajir mengatakan Densus memiliki track record yang tidak baik dalam menangkap terduga teroris. Apalagi, kata dia, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) beberapa waktu lalu juga sempat meminta maaf atas informasi yang tidak akurat mengenai ratusan pesantren diduga berafiliasi terorisme.
Kritik terhadap kinerja Densus juga sempat digelorakan pada Oktober 2021 lalu. Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon meminta agar satuan kerja khusus di bawah Korps Bhayangkara itu dibubarkan.
Menurutnya, Densus kerap menyebarkan narasi berbau Islamofobia dan tidak bisa dipercaya. “Narasi semacam ini tak akan dipercaya rakyat lagi, berbau Islamifobia. Dunia sudah berubah, sebaiknya Densus 88 ini dibubarkan saja. Teroris memang harus diberantas, tapi jangan dijadikan komoditas,” demikian cuitan Fadli, Rabu (6/10) tahun lalu. (cnnindonesia.com)