Contrails adalah fenomena tidak berbahaya yang terjadi di udara akibat emisi dari mesin jet pesawat terbang yang bertemu dengan udara pada temperatur yang sangat rendah. Penelitian yang ditulis J. Marvin Herndon dan timnya berjudul Chemtrails are Not Contrails: Radiometric Evidence menyebut bahwa sampai saat ini, klaim chemtrails dan dampak negatifnya tidak terbukti.
“Belum ada laporan resmi atau publikasi ilmiah yang menyebutkan keberadaan, apalagi akibat buruk yang dapat ditimbulkan. Salah satu kajian menunjukkan bahwa klaim chemtrails tidak benar karena tidak ada kandungan zat kimia yang berbahaya dari jejak yang ditinggalkan oleh pesawat terbang,” tulis laporan yang tayang di Journal of Geography, Environment and Earth Science International, Maret 2020.
Selain itu, ada dua pendekatan lain yang bisa menjawab kesalahan informasi mengenai fenomena contrails dan wabah Omicron.
- Virus SARS-CoV-2 kurang berbaya di lokasi elevasi tinggi Berdasarkan catatan dari Arias-Reyes, et al. yang berjudul “Does the pathogenesis of SARS-CoV-2 virus decrease at high-altitude?”, ilmu fisiologi dan neurobiologi pernapasan menyimpulkan bahwa proses pembentukan unsur patogen (berbahaya) dari virus SARS-CoV-2 berkurang pada lokasi dengan elevasi tinggi. Nah, contrails biasanya tampak pada ketinggian 7.000-13.000 meter yang lapisan oksigen yang sangat tipis sehingga virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 tidak dapat bertahan lama.
- Virus mati karena sinar ultraviolet Selain ketinggian, berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa virus ini rentan terhadap ultraviolet. Oleh karena itu, keberadaan sinar ultraviolet di udara akan mematikan virus SARS-CoV-2 sebelum ia dapat menyebar luas dan sampai ke permukaan. Dengan dua alasan dasar ini saja, Urip menegaskan bahwa chemtrails dan penyebaran Omicron merupakan informasi yang tak tepat dan dibuat untuk menciptakan keresahan masyarakat. (kompas.com)