INTERNASIONAL, RADARSUMBAR.COM – Lelucon tentang Perang Dunia ketiga memang menakutkan. Namun, hal tersebut memang membuat orang tak bisa bergidik setelah berminggu-minggu ancaman eskalasi Rusia di sekitar perbatasan Ukraina yang akhirnya membuahkan hasil yang tragis dalam bentuk invasi skala penuh.
Pasukan Rusia telah menginvasi Ukraina di semua lini (darat, laut, dan udara) dengan Presiden Vladimir Putin tidak menunjukkan penyesalan. Sementara, dunia Barat telah merespon dalam bentuk kecaman dan berbagai sanksi, tapi Asia Tenggara sebagian besar tetap diam di tengah keheningan yang sangat memekakkan telinga.
Mengapa kawasan itu tetap bungkam tentang pelanggaran hukum Internasional yang jelas ini? Kepala Urusan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell menyebut invasi itu “di antara jam-jam tergelap Eropa sejak Perang Dunia Kedua” yang seharusnya membuat merinding pemimpin demokrasi manapun, Eropa atau bukan.
“Uni Eropa akan merespons dengan cara sekuat mungkin dan menyetujui paket sanksi terberat yang pernah kami terapkan. Presiden Putin perlu menghentikan agresi yang tidak masuk akal ini. Kami mendukung Ukraina,” katanya dilansir dari Mashable SE, Sabtu (26/2/2022).
Lalu bagaimana dengan Asia Tenggara? Tidak adil dan secara faktual tidak benar untuk mengatakan bahwa setiap bangsa di kawasan ini tetap diam. Hanya dua anggota blok ASEAN yang merespons adalah Singapura dan Indonesia.
Menurut juru bicara Kementerian Luar Negeri Singapura, Lion City mengutuk keras invasi tak beralasan dari negara berdaulat dengan dalih apapun.
“Kami menegaskan kembali bahwa kedaulatan, kemerdekaan dan integritas wilayah Ukraina harus dihormati. Kami berharap aksi militer akan segera dihentikan dan mendesak penyelesaian sengketa secara damai, sesuai dengan Piagam PBB dan hukum internasional,” jelasnya.
Indonesia mengambil langkah serupa, dengan juru bicara Kementerian Luar Negeri mengatakan, Jakarta prihatin dengan eskalasi konflik bersenjata di Ukraina. Namun, pernyataan tersebut menggunakan istilah yang dianggap salah oleh banyak orang sebagai konflik. Ketika satu negara menyerang negara lain, itu melanggar kedaulatan negara lain.
Presiden Indonesia Joko Widodo juga melalui Twitter pada 24 Februari 2022 untuk menyerukan diakhirinya perang. Tapi, tidak ada di Tweet-nya yang langsung memention pemerintahan Rusia. “Hentikan perang. Perang membawa kesengsaraan bagi umat manusia dan menempatkan seluruh dunia dalam bahaya,” tulis Tweet-nya.
Terlepas dari kecaman luas dari kekuatan lain, mayoritas negara Asia Tenggara tetap relatif tenang. Tapi mungkin ada beberapa alasan di balik keheningan ini.
Yang pertama dan paling jelas adalah kebijakan non-intervensi ASEAN, yang menyatakan bahwa negara-negara anggota tidak ikut campur dalam urusan internal negara lain, termasuk anggota ASEAN lainnya.
Namun, para ahli percaya bahwa kebijakan ini sangat rapuh dan rentan disalahgunakan. Kemudian, mayoritas negara Asia Tenggara masih tergolong ‘berkembang’. Ini berarti mereka sangat bergantung pada pemain eksternal (di luar wilayah) untuk tetap bertahan dan mengejar ketinggalan.
Ini melibatkan membina hubungan diplomatik, serta hubungan ekonomi dengan negara-negara yang jauh lebih kuat. Sementara, hubungan perdagangan Rusia dengan Asia Tenggara memiliki status penting di blok regional yang memerlukan kerja sama di berbagai bidang, termasuk politik, keamanan, ekonomi dan sosial. (rdr)