INTERNASIONAL, RADARSUMBAR.COM – Pada Indeks Persepsi Korupsi Dunia ‘Transparency International’, Indonesia berada di peringkat 96 di antara 180 negara, dengan skor hanya 38 dari 100.
Meskipun meningkat satu poin dari tahun 2020, skor tersebut tidak serta merta menempatkan negara ini pada posisi yang patut untuk ditiru jika dibandingkan dengan banyak negara lainnya dalam daftar.
Menurut perusahaan etika, risiko dan kepatuhan yang berbasis di AS, GAN Integrity disebut sistem peradilan Indonesia penuh dengan korupsi dan tunduk pada pengaruh politik dengan suap dilakukan di semua tingkat peradilan, termasuk putusan pengadilan dan pengadilan banding.
Dalam hal ini, GAN Integrity menyebut, jumlah besar bisnis tidak memiliki kepercayaan yang cukup dalam efisiensi kerangka hukum mengenai penyelesaian sengketa dan kemampuan untuk menantang peraturan.
Contohnya, politisi korupsi yang seharusnya divonis 9 tahun, bebas setelah 4 tahun menjalani hukuman penjara. Alasannya, karena dia melakukan pekerjaan dengan baik. Namun, hal tersebut tidak membuat orang-orang terkesan.
Awalnya, Edhy Prabowo – yang pernah menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan – diberi tambahan empat tahun penjara di atas hukuman lima tahun awalnya setelah Pengadilan Tinggi Jakarta memandang rendah bandingnya terhadap yang pertama.
Vonis dijatuhkan kepadanya oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Juli 2021. Setelah itu, Prabowo diberi kesempatan lagi untuk mengajukan banding atas putusan tersebut yang ternyata berhasil.
Dalam putusannya, Mahkamah Agung mengutip kerja keras Prabowo yang terpuji selama menjadi Menteri, terlepas dari kenyataan bahwa dia dihukum karena menerima suap Rp25 miliar dari seorang pengusaha.
Dia dihukum karena menerima imbalan dari keputusan untuk mencabut larangan ekspor larva lobster dan menunjuk perusahaan itu sebagai satu-satunya penyedia pengiriman untuk ekspor.
Pengadilan mengatakan bahwa Prabowo telah melakukan pekerjaan dengan baik dan telah memberi harapan bagi para nelayan. Bahkan, mengurangi larangan politisi itu untuk berpartisipasi dalam politik dari tiga tahun menjadi dua tahun.
Tidak mengherankan, keputusan tersebut tidak diterima dengan baik oleh anggota masyarakat umum yang menyebut skenario itu hanya sebagai contoh lain dari sistem peradilan negara yang terlalu berbelas kasih terhadap politisi korupsi.
Ironisnya, banyak juga yang melabeli ini sebagai salah satu aktivitas korupsi dalam sistem peradilan negara, demikian laporan yang dikutip radarsumbar.com dari Mashable SEA, Sabtu (12/3/2022). (rdr)