Harga Minyak Goreng Diperkirakan Turun Pekan Depan, Begini Penjelasan Mendag

Ilustrasi minyak goreng. (Antara)

JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Pemerintah telah mencabut harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng sebesar Rp14.000 per liter, menyusul kelangkaan bahan pokok tersebut di pasaran dalam beberapa bulan terakhir.

Usai dicabutnya HET, pasokan minyak goreng di pasaran pun kembali normal bahkan melimpah, terutama di ritel modern. Akan tetapi, harga minyak goreng pun kembali melonjak, karena harga ditentukan oleh mekanisme pasar.

Sebagaimana diberitakan KOMPAS.com pada Sabtu (19/3/2022), Menteri Perdagangan (Mendag), Muhammad Lutfi mengatakan, berdasarkan hasil tinjauannya di ritel modern di Jakarta Timur dan Jakarta Utara, stok minyak goreng kembali normal. “Tadi sudah kita lihat bersama, minyak goreng kemasan sudah mulai normal bahkan melimpah,” kata Muhammad Lutfi.

Lutfi menambahkan, berdasarkan informasi dari penjual, banyaknya permintaan toko terhadap kebutuhan minyak goreng kini sudah bisa dipenuhi 100 persen. Dengan begitu, harga minyak goreng kemasan berpotensi mengalami penurunan, sesuai dengan mekanisme pasar yang berlaku.

“Saya juga melihat ketersediannya cukup. Nanti, jika merek minyak gorengnya makin banyak, harganya akan menurun sesuai dengan kompetisi dan leveling dari marketnya,” ujar Lutfi.

Lutfi mengungkapkan, Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan menggandeng berbagai pihak, termasuk pelaku usaha ritel sebagai distributor, untuk menciptakan harga minyak goreng kemasan yang lebih murah.

“Diperkirakan dalam seminggu ke depan merek-merek (minyak goreng) sudah mulai keluar dan harganya sudah bisa lebih baik,” ucap Lutfi.

Strategi Mendag turunkan harga minyak goreng setelah HET dicabut

Pemerintah bukan hanya mencabut aturan HET minyak goreng kemasan, tetapi juga memberlakukan subsidi bagi minyak goreng curah untuk merespons fenomena kelangkaan minyak goreng di pasaran beberapa waktu lalu.

Selain itu, pemerintah juga mencabut kebijakan kewajiban memasok kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) dan penetapan harga (domestic price obligation/DPO) minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).

Sebagai ganti dari pencabutan ketentuan DMO dan DPO, pemerintah menaikkan pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah dan produk turunannya, untuk menambah dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang akan digunakan untuk subsidi minyak goreng curah.

Kenaikan pungutan itu dilakukan dengan meningkatkan batas atas pungutan ekspor CPO dan produk turunannya, dari semula 1.000 dollar AS per ton menjadi 1.500 dollar AS per ton. Melalui ketentuan tersebut, batas atas pungutan ekspor dan bea keluar komoditas CPO naik, dari semula 375 dollar AS per ton menjadi 675 dollar AS ton.

“Pungutan ekspor dari BPDPKS yang tadinya flat akan dinaikkan secara linear. Setiap kenaikan 50 dollar AS dipajaki 20 dollar AS. Jadi kalau kita lihat harga hari ini, iuran BPDPKS dan biaya keluar akan naik dari 375 dollar AS hari ini menjadi 675 dollar AS,” kata Lutfi, dalam Rapat Kerja Komisi VI DPR RI.

Selain dapat memenuhi kebutuhan dana subsidi minyak goreng curah, Lutfi menuturkan, kenaikkan pungutan ekspor CPO dapat membuat produsen lebih memilih untuk menjual produknya ke pasar dalam negeri daripada luar negeri.

“Hal itu akan membuat eksportir lebih memilih menjual CPO di dalam negeri daripada luar negeri, sehingga kebijakan DMO tidak diperlukan lagi,” katanya. (rdr/kompas.com)

Gabung WhatsApp Channel, Telegram Channel, dan follow juga Facebook, Instagram Radar Sumbar untuk update berita terbaru
Exit mobile version