“Delapan pekan setelahnya, saya mulai mendapatkan hasil COVID-19 negatif yang konsisten,” kata Lester.
Lester merasa sangat bahagia karena dia bisa kembali ke kehidupannya yang normal. Kesembuhan ini pun memungkinkan Lester untuk kembali berkumpul bersama keluarga dan teman-teman tercintanya.
“Sejak menjadi negatif, saya mulai mengalami beberapa gejala long Covid, tapi itu bukan masalah besar dibandingkan kebebasan yang saya dapatkan,” ungkap Lester.
Melalui keberhasilan ini, para ilmuwan berharap metode yang sama juga bisa berhasil pada pasien-pasien lain. Kasus yang dialami Lester ini telah dipublikasikan dalam Journal of Clinical Immunology.
“Ini pertama kalinya vaksinasi mRNA digunakan untuk menyembuhkan infeksi COVID-19 persisten,” ujar ilmuwan klinis dari Cardiff University’s School of Medicine Dr Mark Ponsford.
Lester pertama kali terkena COVID-19 pada Desember 2020. Mulanya, ia hanya mengalami beberapa gejala ringan dan juga kehilangan indra penciuman dan pengecap. Gejala COVID-19 yang dialami Lester lalu mulai memburuk secara bertahap, seiring dengan berlalunya waktu.
“Ini termasuk kelelahan ekstrem, kurang tidur (borderline insomnia), sakit kepala, dan sesak dada,” ujar Lester.
Selama sakit, Lester melakukan tes COVID-19 setiap 10-14 hari. Setiap tes yang dia lakukan selalu memberikan hasil positif dan menambah kecemasannya. Rasa frustrasi Lester semakin membesar ketika perkumpulan sosial sudah diperbolehkan kembali, namun dia tak bisa mengikutinya.
“Saya sangat berterima kasih untuk semua bantuan dan perawatan dari para dokter dan perawat dari tim Departemen Imunologi di UHW,” kata Lester. (rdr/republika.co.id)