JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Sri Lanka mendesak warganya di perantauan luar negeri untuk mengirim uang ke negara guna membantu membeli kebutuhan pokok dan bahan bakar pada Rabu (13/4/2022).
Desakan tersebut dikeluarkan bank sentral Sri Lanka setelah negara pulau tersebut bangkrut dan mengumumkan gagal bayar utang luar negeri senilai 51 miliar dollar AS (Rp732 triliun). Sri Lanka saat ini berada dalam cengkeraman krisis ekonomi terburuk sejak merdeka pada 1948, sebagaimana dilansir AFP.
Beberapa hari terakhir, negara tersebut kekurangan barang-barang penting yang parah dan pemadaman listrik. Aksi protes juga terjadi menuntut pemerintahan Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa mundur karena harga kebutuhan pokok yang melambung.
Gubernur bank sentral Nandalal Weerasinghe mengatakan, dia membutuhkan perantau di luar negeri dan diaspora untuk mendukung negara pada saat yang genting dengan menyumbang devisa yang sangat dibutuhkan. Weerasinghe menyampaikan seruannya setelah Pemerintah Sri Lanka mengumumkan menangguhkan pembayaran semua utang luar negeri.
Pemerintah akan mencairkan uang untuk mengisi kembali persediaan bahan bakar, obat-obatan dan kebutuhan lainnya yang menipis. Weerasinghe mengatakan, dia telah menyiapkan rekening bank untuk sumbangan di AS, Inggris, dan Jerman.
Dia juga berjanji kepada para perantau Sri Lanka di luar negeri bahwa uang sumbangan tersebut akan dibelanjakan untuk keperluan yang paling dibutuhkan. “Mata uang asing tersebut akan digunakan hanya untuk impor kebutuhan pokok, termasuk makanan, bahan bakar dan obat-obatan,” kata Weerasinghe dalam sebuah pernyataan.
Seruan Weerasinghe sejauh ini disambut dengan skeptisisme dari orang-orang Sri Lanka di perantau luar negeri. “Kami tidak keberatan membantu, tetapi kami tidak dapat mempercayai pemerintah dengan uang kami,” kata seorang dokter asal Sri Lanka di Australia kepada AFP, yang meminta namanya tidak disebutkan.
Seorang insinyur perangkat lunak asal Sri Lanka di Kanada juga tidak yakin bahwa uang itu akan disalurkan kepada yang membutuhkan. Dia khawatir, dana tersebut justru disalahgunakan pemerintah seperti yang pernah terjadi ketika Sri Lanka diterjang tsunami pada 2004.
Kala itu, sebagian besar sumbangan uang asing yang dimaksudkan untuk para korban dikabarkan justru berakhir di kantong para politisi, termasuk ke kantong Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa saat ini. (rdr/kompas.com)