PADANG, RADARSUMBAR.COM – Menteri Dalam Negeri era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Gamawan Fauzi menyikapi Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti. Akhir-akhir ini, Gamawan mengaku banyak membaca postingan di WhatsApp Group atau kiriman ke jaringan pribadi (japri) menyangkut pernyataan LaNyalla.
Dalam postingan itu, Gamawan mengatakan, LaNyalla banyak menanggapi keadaan dan kondisi terkini yang terjadi di Indonesia. Ia mengatakan, LaNyalla menyuarakan tiga isu besar yang menjadi perhatian khusus.
Pertama, tiga periode atau perpanjangan masa jabatan presiden. Kedua, soal demonstrasi mahasiswa agar jangan ditangani secara represif. Terakhir, mengenai oligarki dan bahayanya bagi kehidupan bangsa yang disampaikan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah Jawa Timur.
“Ada suara berbeda dari pimpinan Senator negeri ini yang bernama LaNyalla Mahmud Mattalitti. Suara itu, saya dengar jernih dan bening, datang dari seseorang yang berada dalam kekuasaan atau sedang berkuasa,” kata Gamawan dalam rilis yang diterima radarsumbar.com, Rabu (27/4/2022).
Bila datang dari yang belum berkuasa, kata Gamawan, seringkali karena belum kebagian. Sementara, bila suara itu datang dari orang yang tidak berkuasa lagi, lanjut dia, dikatakan post power syndrom atau lebih sinis dianggap belum juga puas.
“Saya tak kenal dengan LaNyalla, saya tak pernah berbincang dengan beliau, tapi menurut saya, pandangan LaNyalla pantas diapresiasi ketika menanggapi tiga isu tadi,” ucap dia.
Bagi kekuasaan, ia memaparkan, tentu suara itu dapat didengar dan dipertimbangkan dengan jernih, bukan dilihat sebagai orang yang tak suka dengan pemerintah yang berkuasa. Apalagi, lanjut dia, ada unsur kesengajaan untuk membuat isu baru terhadap LaNyalla dengan hal-hal yang berbau fitnah.
“Tak perlu pula ada yang menuduh bahwa pendapat LaNyalla itu dianggap ‘ada udang di balik batu’. Kalau pun ada, apa salahnya, bukankah yang diperlukan adalah benar atau tidak yang diucapkan?” tanya Gamawan.
Menurut Mantan Gubernur Sumatera Barat itu, LaNyalla telah menyalakan pijar baru dalam membangun kultur demokrasi yang tidak selalu pro dengan “penyamaan suara”. Namun, kultur yang dengan jujur mengatakan bahwa “benar adalah benar” dan “salah adalah salah” dengan cara-cara beradab atau berakhlak. Pantasnya, LaNyalla sebagai sang penyala demokrasi.
“Segi Iain yang menarik bagi saya, beliau berkata tanpa menyalahkan orang lain dan tanpa ekspresi marah apalagi menghujat. Sebab, menyampaikan pendapat dengan menghujat pihak lain kadang yang terbaca hanya hujatannya, bukan substansi atau materinya,” jelasnya.
Gamawan mengatakan apa yang dilakukan LaNyalla adalah bagian dari doa yang sering dipanjatkan umat Islam: “Allahumma haqa haqa, warzuqna thibaa, waarinal bathila bathila, warzugna thinaba.”
Dengan adanya LaNyalla sepatutnya kita berucap “Selamat memasuki suasana demokrasi baru yang jernih, bersahabat, berkebersamaan, bermartabat, dan ikhlas mengatakan benar di saat benar dan berani mengatakan salah ketika ada kekeliruan,” kata dia.
Gamawan berharap, langkah ini juga diikuti oleh pimpinan lembaga-lembaga negara yang lain, termasuk pimpinan partai politik di parlemen. Meskipun, ia tak menampik label sebagai partai pendukung sekalipun. “Katakanlah apa adanya dengan jujur, bukan dengan pembenaran. Perlu kita ingat, kelak semua yang kita lakukan akan diminta pertanggungjawabannya,” papar dia. (rdr)