“Tak perlu pula ada yang menuduh bahwa pendapat LaNyalla itu dianggap ‘ada udang di balik batu’. Kalau pun ada, apa salahnya, bukankah yang diperlukan adalah benar atau tidak yang diucapkan?” tanya Gamawan.
Menurut Mantan Gubernur Sumatera Barat itu, LaNyalla telah menyalakan pijar baru dalam membangun kultur demokrasi yang tidak selalu pro dengan “penyamaan suara”. Namun, kultur yang dengan jujur mengatakan bahwa “benar adalah benar” dan “salah adalah salah” dengan cara-cara beradab atau berakhlak. Pantasnya, LaNyalla sebagai sang penyala demokrasi.
“Segi Iain yang menarik bagi saya, beliau berkata tanpa menyalahkan orang lain dan tanpa ekspresi marah apalagi menghujat. Sebab, menyampaikan pendapat dengan menghujat pihak lain kadang yang terbaca hanya hujatannya, bukan substansi atau materinya,” jelasnya.
Gamawan mengatakan apa yang dilakukan LaNyalla adalah bagian dari doa yang sering dipanjatkan umat Islam: “Allahumma haqa haqa, warzuqna thibaa, waarinal bathila bathila, warzugna thinaba.”
Dengan adanya LaNyalla sepatutnya kita berucap “Selamat memasuki suasana demokrasi baru yang jernih, bersahabat, berkebersamaan, bermartabat, dan ikhlas mengatakan benar di saat benar dan berani mengatakan salah ketika ada kekeliruan,” kata dia.
Gamawan berharap, langkah ini juga diikuti oleh pimpinan lembaga-lembaga negara yang lain, termasuk pimpinan partai politik di parlemen. Meskipun, ia tak menampik label sebagai partai pendukung sekalipun. “Katakanlah apa adanya dengan jujur, bukan dengan pembenaran. Perlu kita ingat, kelak semua yang kita lakukan akan diminta pertanggungjawabannya,” papar dia. (rdr)