Pertimbangan diusulkan menjadi KEE perwakilan ekosistem daratan, karena adanya potensi ekosistem hutan yang terbentuk dari vegetasi tanaman yang didominasi oleh pohon durian. Selain itu berdasarkan hasil identifikasi pada 2020 di lokasi itu juga terdapat kehidupan satwa liar seperti beruang madu, kijang, kambing hutan, landak, burung rangkong dan berbagai jenis satwa liar lainnya.
Identifikasi itu dilakukan dengan cara survei lapangan dan tanda-tanda keberadaan satwa baik berupa jejak, cakaran dan kotoran maupun gambar visual kamera penjebak yang dipasang di lokasi itu. Sebelum pengusulan BKSDA Sumbar akan melakukan koordinasi dengan instansi terkait dan Pemerintah Kabupaten Agam.
Kepala Resor Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Maninjau, Ade Putra berharap lokasi disetujui menjadi KEE.
Sementara, Wali Nagari Koto Malintang, Naziruddin mendukung dan setuju BKSDA Sumbar untuk mengusulkan kebun durian dan lokasi kayu besar sebagai KEE.
Pada 2008, lokasi itu pernah diusulkan menjadi kebun raya, namun tidak terwujud sampai sekarang. Pihaknya mendukung lokasi itu menjadi KEE untuk mendukung pemanfaatan potensi yang sudah ada, karena tidak mengubah status kepemilikan.
Lokasi ini juga telah menjadi destinasi wisata nusantara dan mancanegara. Lokasi itu pernah dikunjungi wisatawan dari Jepang, Prancis dan lainnya. Untuk mendukung itu, Pemerintah Nagari Koto Malintang telah mengusulkan pembukaan jalan ke lokasi dan pada tahun ini telah disetujui dengan dana Rp150 juta dengan panjang 1,5 kilometer.
Keberadaan jalan ini untuk mendukung pengembangan wisata ke lokasi pohon besar dengan harapan dapat meningkatkan ekonomi masyarakat setempat. “Selama ini wisatawan hanya berkunjung ke Museum Buya Hamka dan setelah itu langsung ke Bukittinggi. Dengan adanya destinasi itu, maka wisatawan bisa berkunjung ke kayu besar,” katanya.
Sejalan dengan itu Wakil Bupati Agam Irwan Fikri mengatakan pohon kayu terbesar di dunia itu bisa dikembangkan sebagai kampus alam dan destinasi wisata. “Keberadaan pohon besar itu bisa dikembangkan menjadi kampus alam tempat orang belajar tentang bagaimana menjaga alam, sehingga kayu pohon bisa besar,” katanya.
Ia mengatakan jarang kayu pohon bisa berukuran sebesar ini dan tidak menutup kemungkinan ini bisa dijadikan destinasi wisata. Ini menandakan masyarakat Koto Malintang menjaga alam dengan baik. Bahkan wali nagari setempat dan tokoh adat menerima penghargaan nasional.
Untuk mewujudkan kampus alam itu, tambahnya tokoh masyarakat, wali nagari, camat, Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga harus menjalin komunikasi dengan baik dengan pemangku kepentingan. Pemkab Agam siap memberikan dukungan terhadap pembangunan kampus alam dan destinasi wisata tersebut.
Ini sesuai dengan Rencana Program Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk menjadikan pariwisata sebagai produk unggulan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat. Keberadaan kayu besar itu juga mengantarkan Wali Nagari Koto Malintang Naziruddin bertemu dengan Presiden Republik Indonesia yang ketika itu dijabat Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai penerima penghargaan.
Penghargaan pertama berupa Kalpataru dari Presiden Republik Indonesia bagi perintis lingkungan kepada Naziruddin Nagari Koto Malintang, Agam, Sumatera Barat di Jakarta pada 4 Juni 2013 karena menyelamatkan kayu besar di hutan rakyat.
Setelah itu, Penghargaan Wahana Lestari pada 2014 dari Kementerian Kehutanan terbaik I tingkat nasional dengan kategori desa adat atau kelurahan peduli kehutanan yang diterima di Jakarta 15 Agustus 2014. Kini warga setempat terus berupaya merawat hutan rakyat tersebut agar tetap terjaga guna meraup kemanfaatan dari alam hingga pengembangan ekowisata yang juga berdampak bagi ekonomi warga setempat. (rdr/ant)