Dalam kesempatan yang sama, ia mengharapkan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) turut mengonsolidasikan para petani sawit untuk memperkuat kelembagaan ekonomi melalui koperasi.
Secara umum, kapasitas produksi Crude Palm Oil (CPO) dari Tandan Buah Segar (TBS) sebanyak 1-5 ton per jam masuk ke dalam skala mini, lalu kapasitas rata-rata 5-20 ton per jam masuk skala menengah, dan kapasitas 30-60 ton per jam adalah skala besar.
Dari produksi CPO ini, sebutnya, masih diperlukan proses fraksinasi dan proses lainnya sehingga dapat menghasilkan minyak goreng.
Lebih lanjut, disampaikan pula bahwa minyak goreng yang dikenal di pasaran berwarna kuning jernih dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 7709-2019 mengandung vitamin A mencapai 45 IU/gram. Adapun minyak sawit merah (red palm oil) dinyatakan mampu menghasilkan kandungan vitamin A cukup tinggi, yakni 666 IU/gram.
“Penelitian dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) dan Riset Perkebunan Nusantara (RPN) ini yang perlu kita implementasikan untuk kemudian kita menemukan skala keekonomian dari produksi minyak goreng oleh koperasi,” ungkap dia.
Bagi Zabadi, kehadiran Badan Standardisasi Nasional (BSN) dapat secara khusus mengawal proses standardisasi minyak goreng skala koperasi dan UMKM. Dengan demikian, masyarakat bisa mendapatkan pilihan rasional dalam memenuhi kebutuhan minyak goreng yang sehat dan terjangkau.
“Untuk mewujudkan piloting ini, diharapkan dukungan pembiayaan baik di sisi on farm, yaitu dengan KUR (Kredit Usaha Rakyat) perbankan dan dari kelembagaan koperasinya melalui LPDB-KUMKM (Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi, Usaha Mikro Kecil dan Menengah) baik untuk kebutuhan modal investasi dan modal kerja,” ujarnya. (rdr/ant)