Asas Ketuhanan
Ende, kota kecil di bawah perbukitan Pulau Flores itu, menjadi tak terpisahkan dengan sejarah bangsa, karena di sinilah puncak permenungan Soekarno terjadi hingga ditemukan Pancasila, yang kini menjadi dasar negara Indonesia.
Hampir semua literatur menyebut bahwa Pancasila itu lahir di Ende, buah permenungan Bung Karno saat masa pembuangannya selama empat tahun (14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938) di kota kecil itu.
Selama masa pembuangan, Soekarno bergumul dalam proses kristalisasi nilai-nilai Pancasila setelah berinteraksi dengan masyarakat jelata di tempat yang dilukiskan paling terbelakang jika dibandingkan dengan beberapa tempat pembuangan Soekarno yang lain.
“Dalam segala hal maka Ende, di Pulau Bunga yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia. Pulau Muting, Banda atau tempat yang jelek seperti itu, ke tempat-tempat mana rakyat kita diasingkan, tidak akan lebih baik daripada ini,” kata Bung Karno sebagaimana ditulis oleh Cindy Adams dalam buku “Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams”.
Ketika diasingkan di Ende oleh penjajah kolonial pada masa itu, Bung Karno menulis Ende sebagai sebuah kampung yang masih terbelakang, penduduk berjumlah 5.000 orang, bekerja sebagai petani dan nelayan.
“Ende, sebuah kampung nelayan telah dipilih sebagai penjara terbuka untukku yang ditentukan oleh Gubernur Jenderal sebagai tempat di mana aku akan menghabiskan sisa umurku. Kampung ini mempunyai penduduk sebanyak 5.000 kepala,” kata Bung Karno dalam buku itu.
“Keadaan masih terbelakang. Mereka jadi nelayan, petani kelapa, petani biasa. Hingga sekarang pun kota itu masih ketinggalan. Ia baru dapat dicapai dengan jip selama delapan jam perjalanan dari kota yang terdekat. Jalan rayanya adalah sebuah jalanan yang tidak diaspal, ditebas melalui hutan,” katanya lagi.
“Di musim hujan lumpurnya menjadi bungkah-bungkah. Kota yang tak memiliki tilpon, tidak punya telegrap, tidak ada listrik, tidak ada air leding. Kalau hendak mandi kau membawa sabun ke Wolo Wona, sebuah sungai dengan airnya yang dingin dan di tengah-tengahnya berbingkah-bingkah batu,” demikian Bung Karno.
Cindy Adams menulis bahwa Soekarno mulai merefleksi dan bekerja sama dengan orang kecil. Sejak di Jawa, ia memang sudah diasingkan dari orang-orang terpelajar yang juga sering berkolusi dengan penjajah.
Soekarno pun berkeluh kesah, “Baiklah kini aku akan bekerja tanpa bantuan orang-orang terpelajar yang tolol itu. Aku akan mendekati rakyat jelata yang paling rendah. Rakyat-rakyat yang terlalu sederhana untuk bisa memikirkan soal politik”.
Selama masa pengasingan di Ende, Bung Karno bersahabat pula dengan para misionaris Katolik dan para imam dari Ordo SVD (Societas Verbi Divini) seperti Pastor Bouma dan Pastor Huytink. Mereka berdiskusi berbagai hal, khususnya tentang keutamaan asas Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Aku menaruh perhatian pada kotbah Yesus di atas Bukit. Inspirasi Yesus menyemangati orang-orang syahid yang berjalan menuju kematiannya sambil menyanyikan Zabur pujian untukNya, karena mereka tahu akan meninggalkan kerajaan tersebut,” kata Soekarno pula.
“Akan tetapi kami akan memasuki Kerajaan Tuhan. Aku berpegang teguh pada itu. Aku membaca dan membaca kembali Injil. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak asing lagi bagiku,” kata Bung Karno sebagaimana ditulis oleh Cindy Adams.
Pancasila yang direnungkan kemudian dibingkai dengan manis oleh Bung Karno, sesungguhnya telah menyiratkan konsep “pengakuan akan perbedaan dan kesederajatan”.
Keragaman budaya, ras, dan agama merupakan realitas dan kompleksitas dalam kehidupan. Pengalaman hidup dalam masa pembuangan di Ende, pada akhirnya dapat memberikan kesaksian hidup yang menentukan bagi perjalanan bangsa ini.
Di Sukamiskin ataupun di Bengkulu, Soekarno berjumpa dengan kelompok yang masih seiman (Islam) yang berbeda suku, budaya, dan bahasa. Di Ende, pengalaman Bung Karno diperkaya oleh adanya fakta atau realitas masyarakat yang lebih heterogen, baik ras maupun agama.
Pengalaman hidup yang nyata ini melahirkan konsep multikulturalisme dan multireligiositas. Ini terjadi pada masa pembuangan di Ende. Konsep ini mengedepankan politik universalisme yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang sama tanpa dikotomi mayoritas-minoritas, lelaki-perempuan, warga kelas atas-warga kelas bawah, Kristen-Islam, atau Flores-Jawa.
Baginya, kesederajatan dalam perbedaan dan keanekaragaman merupakan nilai humanisme yang universal. Nilai-nilai ini dapat mempersatukan dan menjamin kelanggengan NKRI berdasarkan ideologi atau falsafah Pancasila.
Ende, sebuah kota kecil yang terletak bawah perbukitan Pulau Flores itu, menjadi tak terpisahkan dengan sejarah bangsa, karena di sinilah puncak permenungan Soekarno terjadi hingga ditemukan Pancasila.
Maka, pesan Presiden Jokowi di Hari Lahir Pancasila yang dirayakan di Ende pada 1 Juni 2022 ini, memiliki makna historis, mengenang masa perjuangan Soekarno, juga menjadi pijakan bagi setiap anak bangsa untuk menatap masa depan. (rdr/ant)