JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terus memantau laporan hepatitis misterius yang menyerang anak-anak di seluruh dunia.
Direktur Jenderal WHO, Tedros Ghebreyesus mengatakan, WHO menerima laporan lebih dari 700 kemungkinan kasus hepatitis misterius dari 34 negara dan 112 kasus lagi sedang diselidiki.
“Setidaknya 38 dari anak-anak ini membutuhkan transplantasi hati dan 10 telah meninggal,” ujar Tedros, dilansir Anadolu Agency, Kamis (9/6/2022).
Tedros mengatakan, WHO bekerja sama dengan sejumlah negara untuk menyelidiki penyebab hepatitis misterius tersebut. Sejauh ini, lima virus yang biasanya menyebabkan hepatitis belum terdeteksi dalam kasus-kasus tersebut.
“WHO menerima laporan tentang hepatitis yang tidak diketahui penyebabnya pada anak-anak setiap tahun, tetapi beberapa negara telah mengindikasikan bahwa tingkat yang mereka lihat di atas apa yang diharapkan,” kata Tedros.
Sejumlah negara termasuk Amerika Serikat, Israel, Denmark, Irlandia, Belanda, dan Spanyol juga melaporkan kasus serupa. Hepatitis pediatrik ringan tidak pernah terdengar, tetapi kasus tersebut menimbulkan kekhawatiran di Skotlandia pada tanggal 6 April, karena anak-anak mengalami sakit yang cukup parah.
Beberapa anak membutuhkan transplantasi hati dan satu anak telah meninggal dunia. Kekhawatiran lainnya adalah kasus tersebut tidak terkait dengan virus khas seperti hepatitis A, B, C, D dan E.
“Ini masih jumlah kasus yang sangat rendah, tetapi mereka adalah anak-anak itu yang menjadi perhatian utama, dan yang lainnya adalah tingkat keparahannya,” kata profesor hepatologi dari Barcelona dan Ketua European Association of the Study of the Liver’s, Maria Buti.
Teori utamanya infeksi virus, mungkin dengan adenovirus atau keluarga virus umum yang dapat menyebabkan flu biasa. Satu jenis adenovirus, tipe 41, biasanya menyebabkan gastroenteritis akut, dan ada laporan yang menyebabkan hepatitis pada anak-anak dengan gangguan kekebalan. Tetapi tidak pernah menyerang anak-anak yang sehat.
Direktur Kesehatan Masyarakat Skotlandia, Jim McMenamin, mengatakan, penyelidikan sedang dilakukan untuk menentukan apakah adenovirus yang terlibat telah bermutasi sehingga menyebabkan penyakit yang lebih parah, atau apakah itu dapat menyebabkan masalah “bersamaan” dengan virus lain. Termasuk kemungkinan SARS-CoV-2 atau virus penyebab COVID-19.
Dari anak-anak yang terkena hepatitis di Inggris, 75 persen dinyatakan positif adenovirus. Ada juga kemungkinan keterlibatan patogen baru atau paparan racun. Tetapi para ilmuwan mengatakan, penyebaran geografis kasus menunjukkan penjelasan yang lebih mungkin.
Hubungan antara munculnya hepatitis misterius dengan vaksin COVID-19 telah dikesampingkan. Karena sebagian besar kasus yang ditemukan di Inggris terjadi pada anak yang tidak divaksinasi COVID-19. Ilmuwan lain mengatakan, penurunan kekebalan akibat berkurangnya pergaulan sosial selama pandemi bisa menjadi salah satu alasan.
“Ini mungkin merupakan respons berlebihan terhadap stimulasi sistem kekebalan yang tidak digunakan seperti itu. Ini teori yang bagus,” kata konsultan hepatologis dan profesor kedokteran translasi di Imperial College London, Simon Taylor-Robinson.
Peringatan kesehatan masyarakat di Amerika Serikat dan Eropa telah meminta dokter untuk mewaspadai kondisi tersebut, dan menguji adenovirus pada anak-anak jika dicurigai terpapar hepatitis.
Gejala yang muncul antara lain urin gelap, menguningnya mata dan kulit (jaundice), kelelahan, demam, kehilangan nafsu makan, mual, muntah, sakit perut, tinja berwarna terang, dan nyeri sendi. Tidak ada pengobatan khusus untuk menyembuhkan hepatitis, tetapi obat-obatan dapat membantu mengurangi peradangan dan gejala lainnya.
Orang tua diminta waspada terhadap gejala tersebut, dan menghubungi profesional kesehatan jika mereka khawatir. Untuk mencegah penyebaran lebih lanjut, Badan Keamanan Kesehatan Inggris mendesak warga untuk mencuci tangan dan menjaga kebersihan, seperti menutup mulut serta hidung dengan tisu ketika batuk dan bersin.
Para ahli mengatakan bahwa peningkatan jumlah kasus hepatitis misterius relatif lambat. Tetapi mereka memperkirakan terjadinya peningkatan kasus. (rdr/republika.co.id)