Oleh: Isa Kurniawan
(Koordinator Komunitas Pemerhati Sumbar (Kapas))
Gembar-gembor pembangunan flyover Sitinjau Lauik ternyata anti klimaks. Awalnya waktu kunjungan Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa pada 8 April 2021 langsung ke tekape di Sitinjau Lauik, tidak siagak beritanya saat itu. Seperti akan dibangun besok harinya saja proyek tersebut.
Setelah itu, 13 Januari 2022, ada rapat koordinasi Gubernur Sumbar Mahyeldi bersama dengan 11 Dirjen dari 8 Kementerian di Hotel Balairung Jakarta. Disampaikan bahwa pembangunan akan dimulai pada tahun 2023, mundur dari semula yang rencananya pada 2022.
Kemudian Rabu tanggal 15 Juni 2022 kemarin, Kepala Bappeda Sumbar Medi Iswandi menyampaikan bahwa flyover tidak jadi dibangun. Sebagai gantinya akan dilakukan pelebaran jalan saja.
Alasannya, dengan waktu yang semakin sedikit, pembangunan flyover Sitinjau Lauik yang memakan anggaran mencapai Rp4 triliun itu sangat mustahil untuk bisa diselesaikan sesegera mungkin.
Katanya, rencana proyek flyover Sitinjau Lauik tersebut sebenarnya sudah masuk di RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional), dan waktu pembangunan hanya sampai tahun 2024. Sedangkan jika membangun flyover kemungkinan akan melampaui target waktu yang telah ditentukan.
Membandingkan dengan pembangunan flyover Kelok 9 di Kabupaten Limapuluh Kota. Sudah berganti-ganti yang jadi Presiden RI baru bisa siap. Bertahun-tahun lamanya. Tapi karena sudah dimulai akhirnya siap juga.
Kemudian pembangunan flyover Silaiang (Lembah Anai), diinformasikan juga tidak jadi dibangun karena akan adanya pembangunan tol. Tapi entah kapan tolnya dibangun di sana? Harusnya saat ini, minimal dibangun flyover yang melewati air terjun Lembah Anai saja. Supaya kalau airnya meluap, tidak menimbulkan korban dan mengganggu kelancaran lalu lintas.
Dalam pandangan saya, kegagalan flyover Sitinjau Lauik dan Silaiang ini menunjukkan lemahnya lobi Mahyeldi-Audy ke pemerintah pusat. Kalau soal waktu alasannya, saat ini teknologi konstruksi sudah sangat canggih, dengan teknik susun menyusun beton bertulang.
Tengok saja pembangunan rel kereta cepat Jakarta-Bandung, ribuan tonggak-tonggak besar berjejer yang dikerjakan dengan menyusun beton-beton bertulang. Begitu juga dengan pengerjaan konstruksi lainnya, seperti jalan tol. Termasuk pembangunan flyover tentunya. Semuanya dikerjakan dengan canggih.
Sebenarnya banyak lagi pembangunan infrastruktur Sumbar yang menjadi urusan Mahyeldi-Audy. Sebutlah jalan tol Padang-Pekanbaru, jalan tepi pantai Muara Padang-BIM, flyover Padang Lua (Agam), flyover Pasar Koto Baru (Tanahdatar), Stadion Utama Sumbar di Lubuk Alung (JIS di Jakarta, sudah siap), Gedung Kebudayaan Sumbar di Jalan Samudera Padang, dan lainnya yang sampai sekarang tidak jelas ujungnya.
Memang dalam soal membangun infrastruktur tidak bisa sim salabim, tetapi minimal harus tampak ada pergerakan untuk itu. Jangan sampai mangkrak.
Sudah setahun lebih Mahyeldi-Audy memimpin Sumbar. Dalam penilaian saya, mereka tidak punya leadership yang kuat dan kebanyakan drama. Kebanyakan seremonial. Sementara kalau dilihat hasilnya, karena sekarang zaman bukti tidak lebih dari sekadar pepesan kosong. (*)