“Sebanyak 32 kasus di antaranya bermotif untuk pengakuan tindak kriminal, ini biasanya terjadi dalam proses peradilan pidana, biasanya polisi memaksa terduga pelaku untuk mengakui tindakan yang sebenarnya mereka tidak pernah lakukan,” ucapnya.
KontraS juga menyoroti adanya pola keterlibatan baru aktor sipil sebagai pelaku tindak penyiksaan yang dapat dilihat secara langsung dalam kasus Kerangkeng Eks Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-Angin dan 40 kali eksekusi cambuk yang terjadi di Provinsi Aceh.
KontraS menilai, kasus tindakan kekerasan dan penyiksaan yang terus berlanjut ini sebagai ketidakseriusan pemerintah untuk mengakhiri praktik penyiksaan.
Pemerintah dan DPR RI juga tidak menunjukkan komitmen untuk menyegerakan pembentukan peraturan anti penyiksaan dalam kerangka pemajuan Hak Asasi Manusia.
“Kepolisian, TNI, Sipir masih menormalisasi tindakan penyiksaan dan tidak mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan maupun aturan internal institusi. Sehingga, kami menilai bahwa Negara merupakan aktor utama dibalik berlanjutnya praktik penyiksaan yang terjadi di Indonesia,” tutur Rozy. (rdr/suara.com)