Selama ini, kata Hageng, pemerintah telah mensubsidi untuk menahan kenaikan harga BBM di pasar domestik akibat melonjaknya harga minyak dunia yang mencapai 120 dolar AS per barel. Namun karena terjadi selisih harga yang cukup lebar antara BBM subsidi dan non subsidi, realisasi konsumsi BBM bersubsidi oleh masyarakat melebihi kuota yang ditetapkan.
Dari kuota 23,05 juta kiloliter, konsumsi pertalite sudah mencapai 80 persen pada Mei 2022. Sementara konsumsi solar subsidi mencapai 93 persen dari total kuota 15,10 juta kiloliter.
Karena itu, ujar dia, penyaluran BBM subsidi harus diatur baik dari penetapan kuota maupun segmentasi penerima. Saat ini, lanjut dia, segmen penerima solar subsidi sudah diatur sehingga penyalurannya lebih tepat sasaran. Sedangkan segmentasi pengguna Pertalite masih terlalu luas.
“Oleh sebab itu perlu diatur yang bisa mengonsumsi pertalite. Misalnya apakah mobil mewah masih boleh? Padahal mereka mampu beli yang non-subsidi,” katanya.
Hageng juga mengapresiasi inisiatif dan inovasi PT Pertamina Patra Niaga yang akan melakukan uji coba penyaluran pertalite dan solar subsidi melalui sistem MyPertamina. Ia mengajak seluruh pihak untuk mengawal dan mengontrol implementasi program tersebut agar manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat. (rdr/ant)