Tidak hanya itu, perusahaan asing juga dituntut untuk memberikan kedudukan yang layak bagi karyawan pribumi. Pada tingkat selanjutnya, perusahaan asing diharuskan menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha nasional.
Bahkan diwajibkan memberikan perlindungan dengan maksud pengusaha pribumi dan badan usaha yang didirikannya mampu bersaing secara sehat di jalur bisnis.
Meskipun ada kebijaksanaan yang demikian, namun tetap saja sulit bagi pemerintah Indonesia untuk mengontrol perusahaan-perusahaan asing tersebut.
Keberadaan perusahaan-perusahaan itu tak banyak berarti bagi perekonomian negara maupun kepada perekonomian rakyat secara langsung.
Keadaan inilah yang nampaknya kemudian mendorong pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan yang lebih radikal mengambil alih semua perusahaan asing, khususnya milik Belanda, di Indonesia.
Pada 5 Juli 1958 itu, J. Sadiman bertindak atas nama Direktur BAPPIT yang berada di bawah Kementerian Perindustrian Dasar dan Tambang (Perdatam). Dia menjalankan amanat Undang-Undang No. 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi. Isinya, semua perusahaan milik Belanda diserahkan kepada Indonesia.
Selain pabrik Semen Padang, perusahaan milik Belanda lainnya yang diambil alih antara lain NV Papierfabriek Padalarang, NV Nijmegen Papierfabriek, NV Banddoengsche Kininefabriek, NV Goodyear Tire & Rubber Company Ltd., NV Nederlands Indische Portland Cement, NV De Braat, NV De Industrie, CV De Vulkaan, dan lain-lain.
Dua tahun setelah diambil alih, pemerintah mengubah status pabrik semen peninggalan Belanda ini menjadi Perusahaan Negara (PN) Semen Padang, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) nomor 135 tahun 1961. Pada tahun 1972, berubah menjadi PT Persero berdasarkan PP Nomor 07 tahun 1971. (rdr)