Risiko badan roket jatuh tidak terkendali
Biasanya, setelah roket menggunakan semua bahan bakar pada tahap pertama (first stage), bagian roket yang kosong terlepas untuk mengurangi beban, dan itu akan langsung langsung jatuh ke Bumi. Umumnya puing-puing tersebut terbakar di atmosfer sebelum menyentuh daratan, atau diarahkan ke samudera—alias dibuang dengan terkendali.
Ketimbang langsung jatuh ke laut, roket tahap pertama seberat 23 ton tersebut memperoleh kecepatan orbital yang membuatnya tidak jatuh, tapi punya kecepatan yang cukup untuk mengorbit bumi. Namun orbitnya sangat rendah sehingga badan roket mungkin mempertahankan posisinya di waktu yang lama.
Di dunia luar angkasa, hal ini dikenal sebagai ‘uncontrolled re-entry’, atau ‘masuk tanpa dikendali’. Normalnya, roket dibuang dengan terkendali, diarahkan ke laut. Hal ini dikenal dengan ‘deorbit manueuver’.
“Manuver deorbit menggunakan mesin satelit atau roket untuk menjatuhkan titik rendah orbitnya dan memilih di mana ia menyentuh bumi. Ini disebut masuk controlled re-entry,” ungkap Robin Dickey, analis kebijakan luar angkasa Aerospace, dikutip dari laman Aerospace Corporation. “Dengan melakukan ini, objek besar dapat ditargetkan untuk wilayah laut yang tidak berpenghuni di mana puing-puingnya tidak akan melukai siapa pun.”
Bukan kali pertama badan roket China jatuh ke Bumi
Faktanya, ini bukan pertama roket Long March 5B menjadi perhatian internasional karena sisa roket tak terkendali. Sebelumnya roket yang sama, dengan misi yang juga berkaitan dengan stasiun luar angkasa China, pernah mendarat tidak terkendali di Pantai Gading pada 2020, dan di dekat Maladewa pada 2021.
Belum ada korban jiwa sejauh ini dilaporkan. Namun hal ini dianggap tidak bertanggung jawab dan punya risiko yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Dickey mengatakan bahwa belum ada konsensus yang mengatur risiko dari re-entry. Namun ada beberapa standar internasional yang bisa digunakan untuk mengestimasi dan mencegah risiko dari objek yang diluncurkan suatu negara dan mendarat tanpa terkendali.
“Jadi, meskipun re-entry ini belum tentu merupakan pelanggaran hukum antariksa internasional, hal itu bertentangan dengan standar dan norma yang berkembang ini dengan melampaui ambang batas risiko yang umum digunakan untuk korban (1:10.000) dan dapat dianggap tidak bertanggung jawab,” ungkap Dickey.
Standar internasional menulis bahwa objek yang diluncurkan ke luar angkasa seharusnya tidak menimbulkan bahaya bagi masyarakat di Bumi. Rekomendasi Interagency Debris Coordination Committee (IADC) menulis “Puing-puing yang bertahan untuk mencapai permukaan bumi tidak boleh menimbulkan dan risiko yang tidak semestinya bagi orang atau properti.”
Di kasus roket Long March 5B pada 2021 yang mendarat di Samudra Hindia, dekat Maladewa, Administrator NASA meninggalkan pesan peringatan soal keamanan dunia peluncuran luar angkasa. “Negara-negara penjelajah antariksa harus meminimalkan risiko terhadap manusia dan properti di Bumi dari masuknya re-entry objek-objek luar angkasa dan memaksimalkan transparansi mengenai operasi-operasi itu… jelas bahwa China gagal memenuhi standar yang bertanggung jawab terkait puing-puing antariksa mereka,” kata Nelson, pada keterangan tertulis NASA tertanggal 9 Mei 2021. (rdr/kumparan.com)