PADANG, RADARSUMBAR.COM – Koalisi Masyarakat Mentawai yang diberi nama Aliansi Mentawai Bersatu menyatakan menolak Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat (UU Provinsi Sumbar) yang baru disahkan DPR.
Koalisi tersebut terdiri dari berbagai komunitas, seperti Forum Masyarakat Mentawai, Mahasiswa Mentawai dan lain sebagainya. Mereka menilai UU Sumbar mengkerdilkan budaya Mentawai.
UU tentang Provinsi Sumbar itu dinilai bermasalah karena tidak memuat pasal mengenai kebudayaan asli Minangkabau secara keseluruhan. UU Sumbar disebut hanya menjelaskan satu kebudayaan mayoritas yaitu budaya Minangkabau. Padahal, Sumber punya 19 kabupaten/kota dan kebudayaan yang beragam.
“Meskipun budaya kami adalah budaya minoritas, tapi kami bagian dari Sumbar dan hal itu diakui secara geografis dan administrasi daerah,” kata Ketua Aliansi Mentawai Bersatu, Yosafat Saumanuk kepada CNNIndonesia.com dalam konferensi pers di Padang, Senin (1/8/2022).
Koalisi secara khusus menyoroti pasal 5 huruf C yang menjelaskan adat dan budaya Minangkabau yang didasari pada nilai falsafah Islam yang melekat kepada kebudayaan Minangkabau.
Beleid pasal tersebut berbunyi: Adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku sesuai dengan adat salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat.
Yosafat mengatakan pasal tersebut dengan sangat jelas tidak memuat kebudayaan asli lainnya yang tumbuh di Sumbar seperti kebudayaan Arat Sabulungan atau kebudayaan lokal Mentawai. Hal itu dinilai dapat mematikan secara perlahan-lahan kebudayaan Mentawai.
Menurutnya, budaya lokal Mentawai berbeda jauh dari budaya Minangkabau. Jika Rumah Adat Minangkabau dikenal dengan istilah Rumah Bagonjong, di Mentawai rumah adat disebut dengan Uma yang tidak memiliki desain seperti tanduk kerbau.
Hal lain yang berbeda dari Mentawai yaitu keberadaan Sikerei sebagai tabib, kebudayaan Patiti atau merajah/menato tubuh dan keadaan sosial budaya lainnya. Seharusnya, lanjut dia, pemerintah mengakui keberagaman kebudayaan tersebut karena dilindungi oleh UUD 1945.
Dia lantas mengutip konstitusi Pasal 18B yang menjelaskan tentang negara wajib mengakui dan menghormati hukum adat dan hak tradisionalnya secara setara dengan masyarakat lainnya.
Berangkat dari penolakan UU Sumbar, koalisi mendesak DPR segera merevisi UU tersebut. “Mendesak DPR RI untuk meminta maaf karena lalai menghargai, menghormati, dan melindungi keberadaan kebudayaan Mentawai sebagai salah satu keberagaman dari Provinsi Sumbar,” kata Yosafat.
“Mendesak Revisi UU no 17 tahun 2022 tentang Provinsi Sumbar dengan menambahkan dan mengakomodir keberadaan kebudayaan Mentawai sebagai salah satu karakteristik Provinsi Sumbar,” imbuh dia.
Senada, Mantan Bupati Mentawai, Yudas Sabaggalet mengatakan Kabupaten Mentawai sudah ada sejak Indonesia Merdeka. Namun karena UU ini, seolah-olah Mentawai tidak pernah ada. “Kami meminta keadilan akan UU tersebut dengan menambahkan satu pasal untuk Mentawai atau lain sebagainya,” katanya. (rdr/cnnindonesia.com)