PADANG, RADARSUMBAR.COM – Kepolisian Daerah Sumatera Barat menghentikan kasus dugaan penipuan mafia tanah Kaum Maboet di Kota Padang. Dalam surat pemberitahuan penghentian penyelidikan (SP3) nomor B/2055/VIII/2022/Ditreskrimum bertanggal 10 Agustus 2022 yang ditandatangani Direskrimum Kombes Pol Sugeng Hariyadi disebutkan alasan karena tidak cukup bukti.
“Betul kasusnya sudah dihentikan penyelidikannya,” kata Kepala Bidang Humas Polda Sumbar Kombes Pol Dwi Sulistyawan yang dihubungi Kompas.com, Kamis (11/8/2022).
Dwi menyebutkan alasan dihentikannya penyelidikan kasus itu dikarenakan tidak cukup bukti. “Selain itu belum terpenuhi unsurnya (unsur pidana),” jelas Dwi.
Kasus itu berawal dari salah seorang korban yang bernama Budiman membuat laporan ke Polda Sumbar pada 18 April 2020, terkait dugaan pemalsuan surat-surat kepemilikan tanah di areal tanah Kaum Maboet.
Berdasarkan laporan itu, polisi kemudian menetapkan empat tersangka dari Kaum Maboet yaitu Mamak Kepala Waris (MKW) Kaum Maboet, Lehar bersama keluarganya M Yusuf, Yasri dan Eko. Keempatnya kemudian ditahan di Mapolda Sumbar semasa Kapolda Irjen Pol Toni Harmanto sampai akhirnya salah seorang tersangka Lehar meninggal dunia, Kamis (2/7/2020) sekitar pukul 22.10 WIB.
Lehar di RSUP M Djamil Padang akibat sakit tumor dan infeksi saluran pernafasan. Setelah ditahan selama 78 hari, akhirnya dua tersangka lainnya M Yusuf dan Yasri dikeluarkan dan kemudian akhirnya keluar SP3 dari Polda Sumbar.
Kuasa hukum M Yusuf yang sekarang menjadi MKW Kaum Maboet, Gio Vanni Saputra mengatakan SP3 dari kepolisian itu sudah diserahkan kepada kliennya pada Kamis (11/8/2022) di kediamannya di Dadok Tunggul Hitam Padang.
“Sudah diserahkan. Dengan ini kita berharap klien saya tidak lagi dicap sebagai mafia tanah, sebab sebenarnya tanah itu milik mereka,” kata Gio.
Gio juga mengucapkan terimakasih pada Kepolisian Daerah Sumbar di bawah komando Kapolda Irjen Pol Teddy Minahasa, yang sudah melakukan penilaian hukum dengan objektif, sehingga keluar surat pemberitahuan penghentian penyidikan.
Ditambahkan Gio, dengan keluarnya SP3 tersebut, menjadi terang benderang bahwa kliennya bukanlah mafia tanah. Karena itu, untuk mengambil langkah-langkah berikutnya, pihaknya akan melakukan pembicaraan dengan pihak keluarga dan lainnya, terhadap laporan terdahulu, karena secara fisik dan mental sudah merugikan kliennya.
Gio menyebutkan keluarnya SP3 juga membuktikan kalau dasar hukum tanah kaum Maboet seluas 765 hektare itu bukan mengada-ada.
Gio menyebutkan kekuatan hukumnya adalah putusan Perdata No. 90/1931, Surat Ukur No. 30/1917 skala 1:5000 (Kadastral), Segel 5 Maret 1982 KAN Koto Tangah, Surat Kepala Kantor BPN Kota Padang 27 November 2017 perihal pemblokiran dan surat kepala kantor BPN tanggal 24 Juli 2019, perihal penetapan status tanah adat. “Sampai saat ini surat atau dasar hukum tersebut belum ada pembatalan,” kata Gio.
Sebelumnya diberitakan, seorang warga Padang, Sumatera Barat M Yusuf mengadu ke Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia di Jakarta, Senin (6/6/2022).
M Yusuf yang merupakan Mamak Kepala Waris (MKW) kaum Maboet melaporkan mantan Kapolda Sumbar Irjen Pol Toni Harmanto terkait dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan terhadap M Yusuf dan keluarga.
“Kami ditangkap dan ditahan kemudian dituduh sebagai Mafia Tanah di atas tanah sendiri yang sudah dimenangkan berkali-kali perkara perdatanya di Pengadilan Negeri Padang dan sudah adanya surat dari BPN Padang yang menyatakan tanah ini adalah tanah adat kami Kaum Maboet,” kata M Yusuf kepada Kompas.com, usai melapor ke Komnas HAM.
M Yusuf menceritakan, peristiwa yang dialaminya berawal dari adanya laporan seorang pengusaha untuk membuka blokir di BPN Kota Padang di atas tanah Kaum Maboet.
Kemudian menurut Yusuf, Kapolda Sumbar Irjen Pol Toni Hermanto dan jajarannya menangkap dirinya bersama Lehar yang saat itu menjadi MKW Kaum Maboet, saudaranya Yasri serta pengacaranya Eko. “Setelah ditangkap, polisi kemudian menyebut kami sebagai mafia tanah yang diekpose di media,” kata Yusuf.
Namun kenyataannya, setelah ditahan selama 78 hari, Yusuf dan Yasri kemudian dilepas polisi dengan alasan tidak cukup bukti. “Sementara mamak kami, Lehar, meninggal dunia dalam tahanan polisi. Anaknya sebelumnya sudah meminta penangguhan tahanan, tapi tidak dikabulkan,” kata Yusuf.
Yusuf menduga kasus yang terjadi sudah dirancang supaya hak kaum Maboet atas tanah adat yang sudah diperjuangkan bertahun-tahun dan sudah berkali-kali menang perdatanya di Pengadilan Negeri Padang bisa hilang.
“Kami ditahan, diintimidasi sampai mamak kami meninggal dunia. Ini betul-betul tidak berperikemanusiaan kenapa kami diperlakukan seperti ini,” kata Yusuf. Yusuf mengaku sudah melapor ke Mabes Polri dan Kontras untuk mendapatkan keadilan. (rdr/kompas.com)