PADANG, RADARSUMBAR.COM – Irjen Teddy Minahasa Putra (TMP) diduga terjerat kasus jual beli narkoba sebagaimana disampaikan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit dalam konferensi pers pada Jumat (14/10/2022).
Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatra Barat (Sumbar) Fauzi Bahar Datuak Nan Sati mengatakan, gelar adat yang diperoleh Irjen Pol Teddy Minahasa Putra saat menjabat Kapolda Sumbar adalah gelar sangsako adat atau gelar kehormatan.
Gelar sangsako, menurut Fauzi, diberikan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) Pariangan. Penghargaan tersebut, karena Teddy dinilai berjasa menerapkan penyelesaian kasus secara restorative justice dengan memberdayakan ninik mamak.
Fauzi Bahar menegaskan, dengan kasus yang menjerat Teddy, untuk gelar kehormatan yang diberikan tidak ada prosesi pencabutan. Gelar itu akan hilang dengan sendirinya sesuai apa yang dilakukannya.
“Pemberian gelar kehormatan ini, pertama sekali tidak bisa diturunkan ke anak dan keluarga. Kedua dalam hukum kita, seperti orang pakai bedak pergi mandi. Dia akan hanyut dengan sendirinya, bersamaan apa saja yang dilakukan,” katanya.
Sementara itu, di sisi lain, pemberian gelar Sangsako kepadad Irjen TMP tersebut ternyata tidak melibatkan ulama, dalam hal ini MUI Sumbar.
Padahal, di Minangkabau sendiri, dalam adat itu sudah dijelaskan ada tigo tungku sajarangan (penghulu, ulama dan cadiak pandai) yang sejalan dalam membuat keputusan, termasuk gelar adat.
Dalam surat Nomor: C-20/MUI-SB/IV/2022 pada 13 April 2022 lalu yang merupakan balasan dari surat LKAAM Sumatera Barat Nomor 130/LKAAM-SB/IV/2022, tanggal 8 April 2022, disebutkan bahwasanya MUI Sumbar sejak awal tidak menyetujui pemberian gelar adat tersebut.
Surat yang ditandatangani oleh Ketua MUI Sumbar Buya Gusrizal Gazahar tersebut dituliskan bahwa, LKAAM adalah organisasi adat dan tentu tidak memiliki ranji pusako. Dengan demikian, LKAAM tidak memiliki ‘peti gala’ sebagaimana yang dimiliki oleh suku (kaum) dan kerajaan.
“Karena itu, pemberian gelar yang berasal dari LKAAM sebagai organisasi, menurut hemat kami tidak sesuai dengan ‘cupak jo gantang’ adat Minangkabau.”
“Bila dipaksakan maka tentu telah malampaui ‘barih jo balabeh’ wilayah kewenangan organisasi bila dipahami dari peran dan fungsi ‘limbago adaik’ dan ‘limbago rajo’ yang selama ini sudah sama dimaklumi,” tulis surat tersebut.
Kalaupun akan dicarikan gelar dari salah satu suku di Minangkabau dengan proses ‘tabang manumpu hinggok mancakam’ dengan mengisi ‘gantang nan tatagak jo manuang limbago nan ado’, itu pun hanya sekedar menerima ‘gala mudo’ bukanlah ‘gala sako’.
“Di sisi lain, perlu juga dipertimbangkan bahwa pemberian ‘gala mudo’ tersebut bisa saja disalahpahami dan akan menjadi hal yang tidak menyenangkan bagi yang
menerima,” jelasnya kemudian.
Kemudian, pemberian gelar adat pada masyarakat adat Minangkabau memiliki persyaratan dan kriteria tertentu yang ada dalam ‘ukua jo jangko’ supaya jangan sampai ‘bajua bamurah-murah’ demi untuk menjaga marwah Minangkabau.
“Oleh sebab itu, perlu diperhatikan standar dan kriteria pemberian gelar adat tersebut, apakah sudah dipakaikan dalam pemberian gelar yang direncanakan,” lanjutnya.
Dari perjalanan pemberian gelar yang direncanakan ini, sepertinya terkesan ‘gauang alah tadanga sabalun tabuah babunyi’, sehingga musyawarah tidak lagi dalam mancari ‘kato sapakaik’.
Itu tentu berakibat tidak elok untuk perjalanan suatu organisasi dan keharmonisan antar lembaga dalam ‘tungku tigo sajarangan’.
“Dengan pertimbangan hal-hal di atas, maka MUI Sumbar belum bisa berada di dalam ‘rencana nan tacurai tapapakan’ oleh LKAAM Sumbar dan kami berharap agar bisa dimaklumi,” tutup surat tersebut. (rdr)