“Karena ketika Kemenag tiba-tiba melakukan pengukuran arah kiblat akan menimbulkan pertanyaan dari masyarakat. Dan akan menimbulkan pro dan kontra di masrayakat. Kenapa arah kiblatnya diukur,” jelas lulusan Fakultas Syariah UIN Imam Bonjol ini.
Kemudian jika tidak punya aplikasi, kompas atau theodolit, masyarakat juga bisa melakukan kalibrasi arah kiblat secara mandiri melalui rasydul kiblat.
“Peristiwa rasydul kiblat ini terjadi dua kali dalam setahun. 28 Mei jam 16.18 WIB dan 16 Juli jam 16.27 WIB. Masyarakat bisa melakukan kalibrasi menggunakan bayang-bayang. Hasilnya sama dengan theodolit,” kata Ihsan.
Sementara itu, Kepala Bidang Urusan Agama Islam (URAIS), Edison dihubungi terpisah mengatakan kalibrasi arah kiblat satu dari sepuluh layanan masyarakat yang mesti ada di KUA dan SDM-nya harus tersedia.
Dikatakan, mengingat shalat sebagai ibadah mahdhah dan fardhu a’in bagi setiap individu, maka sangat perlu dikaji sarat dan rukunnya, supaya shalat itu sah dan diterima Allah SWT.
“Supaya tidak menimbulkan pro dan kontra di tengah jemaah masjid dan masyarakat, sebelum arah kiblat diukur ulang, atau pembangunan masjid baru, ada baiknya dimusyawarahkan terlebih dahulu,” ungkapnya.
Setelah sepakat sambungnya, pengurus masjid atau masyarakat bisa mengirimkan surat permohonan pengukuran arah kiblat ke KUA, kantor kemenag kabupaten/kota atau lansung ke Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatra Barat. (rdr)