Lebih lanjut kata Andre, mahalnya harga semen produksi SIG menyebabkan toko-toko hingga distributor berpaling dari produk SIG. Akibatnya, utilitas pabrik-pabrik SIG seperti Semen Padang, Semen Gresik, hingga Semen Tonasa, hanya 40%. Sementara di waktu bersamaan, utilitas pabrik Solusi Bangun Indonesia (SBI) hampir mencapai 100%.
“Utilitas pabrik Semen Indonesia hanya 40%. Ini ada Dirut Semen Padang bisa dicek, dari lima pabrik Semen Padang hanya Indarung 5 dan 6 yang aktif. Semen Gresik, dari empat pabrik hanya dua yang beroperasi, bahkan pabrik di Rembang itu stop produksi. Semen Tonasa dari empat pabrik yang Bapak miliki, dua diantaranya stop,” ujar Andre.
“Di saat Tonasa, Gresik, Padang mengalami penurunan penjualan besar-besaran dan utilitas pabriknya hanya 40%, utilitas SBI hampir 100%. Menurut saya ini ada kebijakan yang salah dari pemasaran Bapak. Apa mungkin karena dari direktur marketing, VP, SVP, sampai manajer pemasaran ini orang SBI semua. Bahkan pemilihan sales manager di Sumatera orang SBI yang masuk,” sambungnya.
Ketua FORKI Sumatra Barat ini menekankan agar laporan kinerja SIG tidak hanya mentereng di atas kertas tetapi juga harus teruji di lapangan. Dia juga meminta jajaran direksi SIG segera mengevaluasi kebijakan pemasaran agar tidak merugikan banyak pihak.
“Laporan di atas kertas EBITDA-nya bagus tapi pabrik Bapak hanya 40% utilitasnya. Saya minta ini perlu evaluasi menyeluruh. Kalau tidak dievaluasi tentu kami tidak ragu meminta Menteri BUMN Erick Thohir untuk mengevaluasi jajaran pemasaran Semen Indonesia. Saya mewakili Sumatera Barat, saya tidak rela pabrik Semen Padang jadi museum besi tua karena kesalahan kebijakan dan ketidakmampuan manajemen,” imbuh Andre. (rdr)