Kejati Sumbar Sudah Bentuk 108 Rumah Restorative Justice, Tersebar di 14 Kabupaten dan Kota

Kepala Kejaksaan Tinggi Sumbar Yusron. ANTARA/FathulAbdi

PADANG, RADARSUMBAR.COM – Kejaksan Tinggi Sumatera Barat sepanjang 2022 telah membentuk 108 rumah Restorative Justice sebagai wadah untuk menyelesaikan perkara pidana ringan yang terjadi di tengah masyarakat tanpa harus dibawa ke pengadilan.

“Pembentukan Rumah Restorative Justice terus kami lakukan sepanjang tahun ini, sejak Januari hingga November sudah dibentuk sebanyak 108 rumah,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi Sumbar Yusron, di Padang, Kamis.

Ia menyebutkan seratusan Rumah Restorative Justice itu tersebar di 14 kabupaten atau kota di provinsi setempat yang dikoordinatori oleh setiap Kejaksaan Negeri (Kejari) serta Cabang Kejari. Jumlah paling banyak berada di wilayah hukum Kejari Solok sebanyak 75 unit, kemudian Pariaman sebanyak 21 unit, Bukittinggi, Tanah Datar, Pasaman, Agam, dan lainnya.

Ia menjelaskan sejatinya rumah Restorative Justice adalah wadah yang sengaja dibentuk untuk menyelesaikan perkara pidana yang terjadi di tengah masyarakat dengan keadilan restoratif. “Melalui rumah Restorative Justice ini kejaksaan terus mengembangkan semangat keadilan restoratif, karena tidak semua perkara harus sampai ke pengadilan lalu berakhir di penjara,” jelasnya.

Ia mengatakan Rumah Restorative Justice bisa dijadikan tempat bermusyawarah antar para pihak dalam menyelesaikan tindak pidana ringan berdasarkan nilai-nilai keadilan dan kearifan lokal yang tumbuh di tengah masyarakat.

“Setiap proses mediasi atau musyawarah juga dilakukan dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat setempat mulai dari tokoh agama, adat, dan lainnya,” jelasnya.

Ia mengatakan saat ini Kejati terus memantau perkembangan terhadap 108 Rumah Restorative Justice yang sudah dibentuk. Menurutnya pihak kejaksaan akan terus mendorong pembentukan Rumah Restorative Justice sesuai instruksi dari Jaksa Agung RI, dengan target setiap Nagari atau desa di Sumbar memiliki Rumah Restorative Justice.

Sejalan dengan pembentukan Rumah Restorative Justice, sepanjang 2022 Kejati beserta jajaran telah menghentikan proses terhadap 16 kasus tindak pidana lewat keadilan restoratif. Keadilan restoratif merupakan alur penyelesaian perkara di luar sidang yang dilakukan terhadap tindak pidana ringan yang memenuhi syarat serta ketentuan di tingkat penuntutan.

Jenis kasus yang dihentikan didominasi oleh kasus penganiayaan, kemudian pencurian biasa, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), serta lainnya. Secara tidak langsung, kata Yusron, keadilan restoratif juga akan meringankan beban penjara yang ada di provinsi setempat.

Dalam menghentikan penuntutan ada beberapa hal yang diperhatikan pihaknya yaitu kepentingan korban, penghindaran stigma negatif bagi pelaku, respon masyarakat dan kepatutan, serta ketertiban umum. Ia menegaskan penghentian penuntutan perkara berdasarkan keadilan restoratif akan dilaksanakan pihaknya secara transparan tanpa pungutan.

Jika menilik aturan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif yakni Peraturan Kejaksaan Nomor 15 tahun 2020, keadilan restoratif bisa diberikan kepada pelaku yang terjerat kasus pidana ringan dengan ancaman di bawah lima tahun.

Beberapa persyaratan lain adalah tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana (bukan residivis), jumlah kerugian di bawah Rp2,5 juta, serta ada perdamaian antara tersangka dengan korban yang direspons positif oleh keluarga.

Ia menjelaskan yang menjadi pembeda dari penyelesaian perkara lewat keadilan restoratif yakni adanya pemulihan keadaan pada keadaan semula sebelum terjadinya tindak pidana, sehingga keharmonisan di lingkungan masyarakat juga bisa pulih kembali. (rdr/ant)

Exit mobile version