Kita saat ini berada di ujung tahun 2022. Ada sejumlah catatan dalam bidang pangan dan pertanian yang ingin disampaikan HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia). Di tengah situasi pandemi kemarin, sektor pertanian secara umum memang masih bisa tumbuh, meskipun dengan laju yang melambat.
Dr. Fadli Zon, M.Sc. – Ketua Umum DPN HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia)
Pertumbuhan tahun 2021 sebesar 1,84 persen, misalnya, masih jauh di bawah rata-rata pertumbuhan tahun 2011-2019 yang mencapai 3,95 persen.
Demikian pula kontibusinya terhadap pertumbuhan ekonomi, bobotnya hanya tinggal 0,24 persen, jauh di bawah bobot rata-rata tahun-tahun sebelumnya yang berada di angka 0,50 persen. Sepanjang tahun 2022, kondisinya tak membaik, karena hingga triwulan tiga tahun 2022 hanya bisa tumbuh sebesar 1,42 persen.
Dari data yang dimiliki HKTI, pertumbuhan subsektor Tanaman Pangan cenderung rendah, dan kadang mengalami kontraksi. Perkembangan data subsektor Tanaman Pangan dalam PDB ini terkonfirmasi dengan data produksi beberapa jenis komoditas utamanya yang stagnan, bahkan cenderung menurun, yaitu padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, dan ubi jalar.
Menatap tahun baru 2023, dengan jumlah penduduk kurang lebih sebesar 277 juta jiwa, paradigma pangan kita seharusnya telah banyak berubah. Sesudah era Revolusi Hijau, kebijakan pangan kita mestinya telah bergeser kepada isu-isu lain, seperti soal akses atau pemenuhan kebutuhan gizi, dan bukan lagi hanya berkutat di isu komoditas.
Sayangnya, sejauh ini kita masih saja bergulat dengan isu klasik komoditas, yang menandakan politik dan kebijakan pangan kita sebenarnya tak pernah jauh beranjak. Di ujung tahun 2022 ini, misalnya, diskusi kebijakan pangan kita masih saja diramaikan oleh isu impor beras, yang dipicu impor 200 ribu ton beras oleh Bulog pada awal bulan ini.
Dalam konteks ekonomi-politik yang luas, kegiatan ekspor dan impor pangan seharusnya merupakan kegiatan perdagangan biasa. Namun, impor beras terus-menerus menjadi isu panas di negeri kita karena memang memiliki sejumlah persoalan.
Pertama, impor beras biasanya dilakukan menjelang atau berdekatan dengan musim panen, sehingga merugikan petani produsen. Seperti impor kali ini, misalnya, yang dilakukan menjelang musim panen raya.
Kedua, Bulog kesannya lebih suka menyerap beras dari pasar dunia ketimbang menyerap beras hasil produksi petani untuk menutupi kebutuhan stok CBP (Cadangan Beras Pemerintah). Ini yang membuat keberpihakan Bulog terhadap petani lokal jadi terus-menerus dipertanyakan.
Dan ketiga, keputusan untuk melakukan impor beras biasanya hanya berpatokan kepada stok CBP (Cadangan Beras Pemerintah) yang rendah, namun tidak pernah memperhatikan faktor-faktor lainnya, seperti: kenapa stok tersebut bisa rendah? Apakah karena kekeliruan manajemen logistik Bulog sendiri, atau karena faktor eksternal? Apakah impor dilakukan pada timing yang tepat ataukah tidak?
Dalam jangka pendek pemenuhan ketersediaan pangan tertentu memang akan bergantung pada impor, dan tidak ada persoalan dengan hal itu. Namun, sebagai negara agraris, Indonesia saat ini merupakan salah satu negara importir bahan pangan terbesar di dunia.
Kondisi ini tentunya bukanlah sesuatu yang ideal. Kita harus berupaya meningkatkan produksi dan efisensi pangan, selain tentunya meningkatkan pendapatan masyarakat.
Di luar isu impor beras yang perlu dikritisi tadi, HKTI juga memiliki catatan lain terkait kebijakan pangan di tanah air. Catatan-catatan ini penting untuk diperhatikan agar masa depan pangan kita di tahun 2023 bisa lebih baik lagi.
Pertama, kebijakan pangan kita mestinya bertumpu di atas prinsip kesejahteraan petani, dan bukannya konsumen. Sebab, jika petani sejahtera, maka konsumen pastinya sejahtera, dan negara juga akan ikut sejahtera.
Prinsip menempatkan kesejahteraan petani sebagai titik tumpu kebijakan ini belum kita lihat. Ini bisa dilihat dari ketetapan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) yang belum pernah direvisi dalam dua tahun terakhir, padahal setahun terakhir kita tengah menghadapi isu inflasi yang cukup serius.
Sebelum Permendag 24 tahun 2020, pemerintah juga sebelumnya tidak pernah merevisi HPP selama lima tahun penuh. Kita tahu, besaran HPP sebelumnya ditetapkan melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Kebijakan HPP itu baru direvisi tahun 2020.
Menurut HKTI, HPP adalah instrumen penting yang bisa mendongkrak kesejahteraan petani. Sebab, HPP menjadi acuan pihak swasta dalam membeli gabah dan beras petani. HPP yang tak pernah direvisi, apalagi selama bertahun-tahun, menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah dalam mendukung kesejahteraan petani.