Kasus surat bertandatangan Gubernur Sumbar Mahyeldi dan berkop Bappeda terus diusut Polisi. Tiga dus paket surat itu sudah disita. Kata Direktur PuSaKo Feri Amsari, ini upaya pemerasan. Surat itu sama dengan intimidasi.
Mungkin lebih tepatnya bukan lagi upaya, tapi sudah benar-benar terjadi pemerasan. Karena uangnya, menurut pelaku, sudah terkumpul 170 juta. 170 juta itu entah dari berapa surat? Kalau tiga dus itu beredar, entahlah? Bisa penuh ATM.
Siapa yang berani menolak surat penguasa dan berkop resmi? Dipastikan, tak ada yang berani. Apalagi perusahaan, instansi, yang mau urus ini-itu. Bisa panjang urusan. Pada tahap itulah, sumbangan berubah arti menjadi keharusan.
Ingat kasus Izet? Hanya karena videonya yang viral memeras sopir truk 50 ribu. Ia dicari Polisi berhari-hari dan akhirnya ditangkap. Kabarnya, kasusnya akan bergulir ke pengadilan beberapa hari lagi ke depan. Entah kayak apa nasib Izet?
Kasus sama, beda nasib. Bedanya hanya pada surat. Satu legal, satu ilegal. Satu pakai surat, satu pakai gertak. Modal mulut, modal tanda tangan. Satu kumal, satu necis. Bau kamput murahan, bau parfum mahal. Bumi dan langit.
Celakanya, menurut pelaku, ia sudah berjalan seperti ini sejak Gubernur Mahyeldi menjadi Walikota Padang tahun 2016 dan 2018. Wah. Apa untuk buat buku profil juga? Atau untuk apa? Masa Pandemi ini, profil apa pula yang mendesak untuk dibuat? Perut warga lagi lapar. (*)