Wacana investasi pembangunan hotel di Kawasan Gedung Kebudayaan Sumatera Barat menuai polemik dari sejumlah tokoh. Pasalnya, sangat mengkhawatirkan bahwa nantinya perbuatan maksiat berpotensi berlangsung di hotel tersebut.
Defrianto Tanius – Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Warga Anti Korupsi
Potensi perbuatan maksiat ini sangat bertentangan dengan falsafah Adat Basandi Syarak Basandi Kitabullah yang dijunjung tinggi oleh masyarakat di Ranah Minang.
Kedepan tentu saja bermakna bahwa Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (Sumbarprov.go.id) telah memfasilitasi perbuatan maksiat di Ranah Minang.
Hal itu disebabkan hotel yang berpotensi sebagai tempat berlangsungnya maksiat dibangun di atas aset milik daerah.
Mencegah berlangsungnya praktek maksiat di atas aset daerah, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat diharapkan mengevaluasi kembali rencana pembangunan hotel di atas aset daerah
Dikarenakan setelah hotel tersebut terealisasi, dipastikan tidak seorangpun bisa menjamin tidak akan ada praktek maksiat di aset daerah tersebut.
Kita merasa ada ketimpangan gelar keseharian yang disandang Mahyeldi dengan program yang dibuatnya diatas aset milik daerah.
Kesehariannya Gubernur Sumbar ini dipanggil dengan sebutan “Buya”, namun malah bekerjasama dengan bisnis yang ‘dekat’ dengan perbuatan maksiat.
Sebelumnya, Fraksi Gerindra DPRD Sumbar melakukan jumpa pers di ruangan fraksi lembaga tersebut, Selasa (3/1/2023) guna mengkritisi Kinerja Gubernur Sumatera Barat tahun 2022 ini.
Fraksi Gerindra menilai Gubernur Sumbar telah melakukan pendustaan kepada DPRD Sumbar dan mengorbankan anak buahnya, berdasarkan laporan kinerja yang disampaikan pada paripurna.
Pada laporan Gubernur, dinyatakan penyerapan anggaran tahun 2022 mencapai 95%, dan Silpa sebesar Rp317.688 miliar, lebih jauh lebih baik dari tahun 2021 dengan silpa Rp480 miliar lebih.
Namun, kualitas penyerapan anggaran akan dilihat Fraksi gerindra dari laporan BPK semua itu biasa akan ada pertengahan 2023 sesuai Undang-undang nomor 23 tahun 2014.
Pemerintahan bukan hanya dinilai dari serapan anggaran tapi juga dalam tata kelola pemerintahan yang mengacu pada pelaksanaan yang baik serta bersih dari kolusi dan nepitosme (good and clean governance).
Dalam hal ini, Fraksi Gerindra menilai masih jauh karena yang dipakai dalam penempatan aparatur adalah merit sistem, sehingga sangat berpotensi terjadinya praktek nepitisme, berbasis primordial maupun afiliasi politik. (**)