AROSUKA, RADARSUMBAR.COM – Bupati Solok periode 2010-2015, Drs. Syamsu Rahim, mengkritik pedas pemberhentian Ketua DPRD Kabupaten Solok Dodi Hendra di Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Solok, Senin (30/8/2021).
Menurut Mantan Ketua DPRD Kota Sawahlunto dua periode dan mantan Walikota Solok 2005-2010 tersebut, tindakan tersebut merupakan kudeta, oleh penguasa otoriter dengan terencana atau by design.
“Jelas hal itu (Rapat Paripurna Pemberhentian Ketua DPRD Kabupaten Solok) cacat hukum dan cacat prosedur. Tapi yang harus diketahui masyarakat adalah, ini adalah kudeta yang dilakukan Wakil Ketua DPRD Ivoni Munir dengan legitimasi dari Bupati Solok Epyardi Asda. Sesuatu yang tidak benar seperti ini, tidak boleh dibiarkan,” ungkapnya.
Syamsu Rahim yang pernah dua periode menjadi Ketua DPRD Kota Sawahlunto dan dua periode menjadi kepala daerah, menegaskan secara legal formal, Dodi Hendra tetap Ketua DPRD Kabupaten Solok yang sah. Partai Gerindra dan PPP menurut Syamsu Rahim, harus kokoh menegakkan kebenaran dan aturan.
“Ini adalah rangkaian kudeta by design oleh penguasa yang otoriter. Bukan seorang pemimpin yang seharusnya mengayomi semua elemen. Tapi, yang terjadi adalah pengambilalihan kewenangan dengan cara-cara yang inkonstitusional dan melabrak aturan.”
“Saya dua periode menjadi Ketua DPRD dan dua periode menjadi kepala daerah. Baru kali ini saya melihat hal seperti ini. Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Saya pun begitu, banyak kekurangan-kekurangan saya yang mungkin tak berkenan di masyarakat saat menjadi pejabat. Tapi, tentu kebijakan yang diambil harus berdasarkan aturan dan undang-undang,” ungkapnya.
Syamsu Rahim juga menyatakan pemberhentian Dodi Hendra sebagai Ketua DPRD Kabupaten Solok, kuat dugaan adalah upaya pemaksakan kehendak untuk memuluskan sejumlah keinginan kubu Epyardi Asda di APBD Perubahan 2021 dan APBD Kabupaten Solok tahun 2022.
Hal itu menurutnya, karena akan ada “jeda waktu” pada proses Plt Ketua DPRD ini dengan surat Gubernur dan Partai Gerindra, tentang siapa yang akan menjadi Ketua DPRD definitif. Apakah tetap Dodi Hendra atau ada kader Gerindra yang lain.
“Jeda waktu ini akan menjadi momentum untuk mengesahkan APBD Perubahan 2021 dan APBD 2022. Hal ini telah dimulai di saat pembahasan dan pengesahan RPJMD. Disinilah keinginan-keinginan pemerintah beserta kroni-kroninya dipaksakan masuk.”
“Karena Ketua DPRD Dodi Hendra dan Ketua Fraksi PPP, Dendi, selama ini selalu berseberangan dengan kehendak bupati. Ini tidak boleh dibiarkan. Partai Gerindra dan PPP, meski minoritas, harus teguh berjuang. Karena ini terkait kehidupan masyarakat luas, tidak untuk kehidupan sebagian orang,” tegasnya.
Syamsu Rahim juga meminta Gubernur Sumbar sebagai wakil pemerintah pusat di daerah untuk turun tangan menyelesaikan polemik ini. Demikian juga dengan tokoh-tokoh masyarakat Kabupaten Solok, untuk tidak tinggal diam.
“Pak Gubernur, turunlah. Selesaikan polemik di Kabupaten Solok. Tokoh-tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, perantau, dan semua elemen masyarakat, jangan diam. Kabupaten Solok adalah milik kita semua, mari kita bergerak sesuai peran masing-masing untuk mewujudkan Kabupaten Solok yang lebih baik,” ujarnya.
Syamsu Rahim juga menilai polemik yang terjadi di Kabupaten Solok adalah akibat dari eksekutif dan legislatif tidak saling menghormati dan menghargai posisi masing-masing.
Sehingga, terjadi saling mengumbar aib dan saling “menelanjangi”. Padahal, menurut Syamsu Rahim, aib di DPRD adalah aib Pemkab Solok, karena pemerintahan adalah eksekutif dan legislatif.
“Harusnya mereka tahu Tupoksi dan position stelling masing-masing. Misalnya tentang pemaknaan kolektif kolegial, ini bukan berarti Ketua DPRD setara dengan Wakil-Wakil Ketua DPRD. Kolektif kolegial artinya semua diberi kesempatan dan hak sama sesuai posisinya sebagai Ketua DPRD ataupun Anggota DPRD.”
“Tapi, ini bukan berarti kewenangan yang dimiliki Ketua DPRD sama dengan Wakil Ketua DPRD, meski mereka sama-sama pimpinan DPRD.”
“Wakil Ketua DPRD baru bisa memiliki kewenangan Ketua DPRD, jika ada pendelegasian dari Ketua DPRD. Misalnya, dalam memimpin rapat, menghadiri undangan dan kegiatan dan kegiatan-kegiatan lain. Ini harus dipahami. Karena undang-undang dan peraturan yang menggariskan, dan Indonesia adalah negara hukum yang setiap orang harus taat pada aturan,” tegasnya. (*)