JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Hampir semua orang pasti pernah mendengar kata saham. Terlebih di zaman sekarang ini, saham mulai familiar dan akrab di tengah-tengah masyarakat.
Sebagian mungkin masih bingung bagaimana cara kerja saham. Sedang sebagian lain, meski sudah mengerti bagaimana meraup keuntungan dari saham, boleh jadi masih ragu untuk mulai mulai berinvestasi dengannya.
Alasannya macam-macam. Bagi seorang muslim, kiranya keraguan itu timbul karena adanya kegamangan apakah investasi saham itu haram atau halal?
Dilansir dari laman MUI, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sudah sejak 2003 menjawab kebingungan umat terkait investasi saham melalui fatwa-fatwanya.
Apa itu Saham dan bagaimana cara kerjanya?
Sebelum membahas fatwa, kita pahami terlebih dahulu apa itu saham dan bagaimana cara kerjanya.
Mudahnya, saham adalah tanda bukti kita ikut menanam modal di sebuah perusahaan. Ketika kita membeli saham, itu ibarat kita tengah urunan memodali lini bisnis agar berjalan. Timbal baliknya, bila perusahaan mendapat untung, kita juga akan mendapat bagian yang disebut dengan dividen.
Selain itu, saham yang telah kita beli dapat kita jual kembali kepada orang lain. Harga saham bersifat fluktuatif atau naik turun bergantung pada seberapa baik kinerja perusahaan dan beberapa faktor lainnya. Bahkan situasi negara dan drama politiknya ikut mempengaruhi harga saham suatu perusahaan.
Nah, yang diincar adalah seberapa jeli dan cermat kita memilih saham lewat analisis mendalam. Investor cerdas adalah mereka yang membeli saham ketika masih murah padahal performa serta kinerja perusahaannya sangat baik.
Sehingga ketika orang-orang baru menyadari betapa bagusnya prospek (masa depan) perusahaan tersebut, sahamnya menjadi rebutan dan otomatis harga sahamnya menjadi semakin mahal melebihi harga saat pertama kali dibeli oleh investor cerdas tadi.
Selisih harga inilah yang membuat saham menjadi instrumen investasi yang menguntungkan. Namun, seperti halnya instrumen investasi lain, saham juga memiliki risiko yang mengantarkan kita pada kerugian. Risiko investasi di saham termasuk paling tinggi disbanding yang lain. Jadi sekali lagi, sebelum memutuskan membeli saham, perlu kecermatan dan kejelian.
Hukum Berinvestasi dengan Saham
Akan tetapi, apakah meraih keuntungan seperti di atas diperbolehkan dalam Islam? Menjawab pertanyaan ini, kita sebaiknya merujuk pada beberapa fatwa yang telah dirumuskan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Di antaranya Fatwa DSN-MUI Nomor: 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal, kemudian Fatwa DSN-MUI Nomor: 80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek, dan Fatwa DSN-MUI Nomor: 135/DSN-MUI/V/2020 tentang Saham.
Dalam fatwa tentang saham, disebutkan bahwa transaksi saham nantinya disebut dengan akad Syirkah Musahamah. Akad ini hukumnya boleh selama memenuhi prinsip syariah.
Kebolehan ini tetap berdasarkan pada ayat al-Quran, hadits-hadits, beberapa pendapat ulama dan kaidah fikih. Salah satu kaidah fikih yang dikutip adalah:
الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاتِ الإبَاحَة إِلا أَن يَدُلُّ دَلِيلٌ عَلَى تحريمها.
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Jadi, penerbitan dan pengalihan Saham Syirkah Musahamah ini boleh dilakukan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan dan prinsip syariah.
Dua hal yang perlu dicermati adalah emiten (perusahaan) dan model transaksi saham. Fatwa DSN MUI Nomor 40/DSN-MUI/X/2003 merinci beberapa emiten yang tidak boleh untuk investasi saham. Emiten tersebut adalah yang berkecimpung dalam bisnis seperti:
a. perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang,
b. lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional;
c. produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram;
d. produsen, distributor, dan/atau penyedia barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.
e. melakukan investasi pada Emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) hutang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari modalnya.
Selain perusahaanya, yang patut menjadi perhatian investor adalah transaksinya. Harus dipastikan bahwa transaksi saham tersebut tidak bersifat spekulatif dan manipulatif. Sifat transaksi tidak boleh mengandung dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat, serta kedzaliman.
Jika saham tersebut terbebas dari dua larangan itu, maka hukum berinvestasi di saham boleh-boleh saja. Zaman sekarang, yang paling mudah adalah dengan melihat saham yang masuk dalam Indeks Syariah. Wallahu A’lam. (rdr)