لَوْ سَجَدَ عَلىَ مَوْضِعٍ عَالٍ، فَإِنْ كَانَ بِحَيْثُ لاَ يَكُوْنُ ظَهْرُهُ أَعْلىَ مِنْ رَأْسِهِ وَرَقَبَتِهِ لَا يَجُوْزُ لِأَنَّهُ لَا يُسَمَّى سُجُودًا، وَإِنْ كَانَ ظَهْرُهُ أَعْلَى مِنْ رَأْسِهِ وَرَقَبَتِهِ يَجُوْزُ. وَيُكْرَهُ إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ عُذْرٌ
Artinya, “Jika sujud di tempat yang tinggi, (maka hukumnya diperinci): jika sekira punggungnya tidak lebih tinggi dari kepala dan lehernya maka tidak diperbolehkan (shalatnya tidak sah), karena tidak disebut sujud, dan jika punggungnya lebih tinggi dari kepala dan lehernya maka diperbolehkan (shalatnya sah). Dan, makruh (shalat di tempat tersebut) jika tidak ada udzur.” (Imam ar-Ruyani, Bahrul Mazhab fi Furu’i Mazhabil Imam asy-Syafi’i, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 2009], juz II, halaman 51).
Dengan mengikuti pendapat ini, maka shalatnya diperbolehkan selama punggungnya masih lebih tinggi dari kepala dan lehernya.
Dan praktik seperti ini hanya dilakukan dalam keadaan udzur, seperti banyaknya jamaah hingga berdesak-desakan dan terpaksa harus shalat di tangga. Sedangkan jika tidak ada udzur, maka shalat dengan praktik tersebut hukumnya makruh.
Senada dengan pendapat ini, menurut Imam Ibnu Abidin ad-Dimisyqi (wafat 1252 H), salah satu ulama kontemporer terkemuka dari mazhab Hanafiyah, mengatakan bahwa jika tempat sujud lebih tinggi tempat kaki dua, seukuran dua batu bata yang negara Bukhara, maka diperbolehkan, namun jika lebih darinya maka tidak diperbolehkan selama tidak karena berdesak-desakan,
وَلَوْ كَانَ مَوْضِعُ سُجُودِهِ أَرْفَعَ مِنْ مَوْضِعِ الْقَدَمَيْنِ بِمِقْدَارِ لَبِنَتَيْنِ جَازَ سُجُودُهُ، وَإِنْ أَكْثَرَ لَا إلَّا لِزَحْمَةٍ. وَالْمُرَادُ لَبِنَةُ بُخَارَى، وَهِيَ رُبْعُ ذِرَاعٍ، فَمِقْدَارُ ارْتِفَاعِهِمَا نِصْفُ ذِرَاعٍ
Artinya, “Dan jika tempat sujudnya lebih tinggi dari tempat berpijaknya kaki dua, dengan ukuran dua batu bata maka sujudnya diperbolehkan, dan jika lebih banyak (dari ukuran tersebut) maka tidak diperbolehkan, kecuali karena berdesak-desakan. Sedangkan yang dimaksud batu bata (labinah) dalam bab ini adalah batu bata negara Bukhara (Uzbekistan), yaitu seperempat dzira’ ukuran lebarnya, dan setengah dzira’ ukuran tingginya.” (Ibnu Abidin, Raddul Muhtar ‘ala ad-Durril Mukhtar, [Beirut, Darul Fikr: 1992], juz IV, halaman 62).
Dapat disimpulkan bahwa hukum shalat di tempat yang tidak datar seperti tangga, hukumnya sah. Hanya saja, orang yang shalat di tempat ini perlu memperhatikan sujudnya agar kepala dan lehernya tidak lebih tinggi dari punggungnya, dan benar-benar dilakukan ketika dalam keadaan darurat. (rdr/nu)