Pakar: Perbedaan Dasar Hukum akibatkan Persoalan Batas Wilayah Indonesia-Malaysia tak Selesai

Pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia Prof. Hikmahanto Juwana (kiri) saat menghadiri peluncuran buku di Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Kamis, (10/8/2023). ANTARA/HO-Humas Unand.

JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia Profesor Hikmahanto Juwana menjelaskan bahwa Indonesia menggunakan Konvensi Hukum Laut 1982 dalam penyelesaian batas wilayah dengan Malaysia.

“Sementara itu, Malaysia menggunakan peta yang dibuat pada tahun 1979. Inilah penyebab perundingan Indonesia dan Malaysia mengenai batas wilayah tidak kunjung selesai hingga saat ini,” kata Prof. Hikmahanto Juwana di Padang, Sumatera Barat, Kamis.

Menurut Hikmahanto, peta yang dibuat 1979 tersebut tidak mengacu pada Konvensi Hukum Laut 1982. Atas dasar itulah, Malaysia selalu menolak argumentasi Indonesia.

Sayangnya, kata dia, dalam hukum internasional, masalah perbatasan negara merujuk pada aspek hukum dan sisi sejarah. Situasi tersebut secara nyata menyulitkan kesepakatan atau perundingan kedua negara.

Beberapa negara seperti Tiongkok dan Malaysia menggunakan basis data sejarah sebagai pedoman untuk menentukan batas wilayah negaranya, bukan merujuk pada aspek hukum.

Hal itu, lanjut dia, sama halnya dengan yang disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Prof. Firman Hasan yang menyebutkan Tiongkok mengklaim sembilan garis putus merujuk pada sejarah zaman dahulu. Kala itu nelayan Tiongkok berlayar sampai ke titik yang disebut sembilan garis putus.

Diungkapkan pula oleh Hikmahanto bahwa sikap agresif Tiongkok bisa jadi dilatarbelakangi jumlah penduduknya yang mencapai 1,4 miliar jiwa sehingga berpengaruh pada mata pencarian masyarakat sehari-hari.

“Jadi, mereka berpikir bagaimana cara mendapatkan sumber daya alam apakah itu ikan, gas bumi, dan lain sebagainya,” kata dia.

Ditambah lagi, kata Hikmahanto, saat ini negara berjuluk Tirai Bambu tersebut termasuk negara yang dari sisi militer tergolong kuat atau diperhitungkan di kancah internasional.

Ketika Tiongkok mengklaim sembilan garis putus, kata dia, menyangkut dengan kedaulatan Vietnam, Filipina, dan Malaysia. Sementara itu, dengan Indonesia sendiri lebih pada hak berdaulat atau terkait dengan zona ekonomi eksklusif.

Dalam paparannya, Hikmahanto mengingatkan kembali putusan Mahkamah Internasional mengenai Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang akhirnya jatuh ke tangan Malaysia. Dari kejadian itu, Hikmahanto mengingatkan pentingnya aspek kehadiran negara. (rdr/ant)

Gabung WhatsApp Channel, Telegram Channel, dan follow juga Facebook, Instagram Radar Sumbar untuk update berita terbaru
Exit mobile version