JAKARTA, RADARSUMBAR.COM – Dalam konsep negara hukum, tidak ada satu pihak pun atau warga negara, termasuk penguasa dan pemerintah yang berada di atas hukum.
Hukum melindungi hak asasi setiap warga negara, dan keadilan harus dapat dijangkau oleh setiap warga negara, terlepas dari jenis kelamin, ras, suku, agama dan latar belakang yang dimilikinya.
Demikian disampaikan Ketua Mahkamah Agung (MA), M.Syarifuddin, dalam keterangan tertulis yang dinukil dari Infopublik, Jumat (29/9/2023).
MA hadir membuka secara resmi kegiatan webinar internasional tentang Inovasi dan Capaian Peningkatan Akses Keadilan di Mahkamah Agung, Jakarta.
Acara ini merupakan kerja sama Mahkamah Agung dengan Federal Circuit & Family Court of Australia (FCFCoA). Acara diikuti oleh para hakim dari Indonesia dan Australia secara daring.
Ia menambahkan, setiap warga negara harus memiliki jalan, cara, untuk menjaga, melindungi dan memulihkan hak-hak mereka yang terlanggar. Baik yang terlanggar oleh sesama warga negara, atau oleh pemerintah dan penguasa.
Jalan tersebut, hanya dapat dihadirkan oleh lembaga yang memiliki kekuasaan penuh dan netral dari cabang kekuasaan lainnya, yaitu pengadilan.
“Itulah yang menyebabkan setiap lembaga peradilan, termasuk Mahkamah Agung, perlu menempatkan akses keadilan sebagai prioritas tertinggi dalam melaksanakan fungsinya,” paparnya.
Lanjut Syarifuddin, akses terhadap keadilan merupakan konsep yang mengacu pada kemampuan individu dan masyarakat untuk secara efektif mencari dan memperoleh penyelesaian yang adil dan tepat waktu terhadap permasalahan hukum yang mereka hadapi.
“Konsep ini sejalan dengan asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang diamanatkan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan,” ujarnya.
Menurut Syarifuddin, implementasi atas konsep dan asas itu tidaklah sederhana, karena untuk memastikan layanan dan akses yang setara.
Pengadilan juga harus memastikan bahwa setiap warga negara dapat menikmati penerapan konsep dan asas tersebut terlepas dari kerentanan dan hambatan yang mereka miliki.
“Inilah yang menyebabkan pengadilan kemudian harus memberikan perhatian khusus kepada mereka yang termasuk dalam kelompok rentan tersebut, yaitu perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan warga miskin,” katanya.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan akses keadilan bagi seluruh elemen dan lapisan masyarakat, ia menyatakan Mahkamah Agung mengupayakan pembaruan setidaknya untuk 7 (tujuh) aspek.
Yaitu: Keterjangkauan, Penyederhanaan Prosedur, Penyediaan Bantuan Hukum, Penyediaan Layanan Bahasa dan Pendamping, Aksesibilitas Fisik, Ketepatan Waktu dan Efisiensi, serta Penggunaan Teknologi dan Akses Online.
Ketua Mahkamah Agung menyadari pembaruan yang diupayakan oleh Mahkamah Agung itu, bukan berarti tanpa hambatan dan kekurangan.
Tentu saja seluruh jajaran badan peradilan harus selalu mawas diri untuk menyempurnakan dan mewujudkan akses keadilan yang seutuhnya bagi para pencari keadilan.
Terutama, dalam menyikapi pemenuhan hak para pencari keadilan yang kewenangannya tidak sepenuhnya ada pada Mahkamah Agung.
Ia juga menambahkan, untuk penyediaan layanan bantuan hukum selama persidangan, penyediaan pendamping untuk perempuan, anak berhadapan dengan hukum.
Serta penyandang disabilitas mental, Mahkamah Agung masih bergantung pada ketersediaan anggaran pada instansi-instansi pemerintah. (rdr)