Menurut Syarifuddin, implementasi atas konsep dan asas itu tidaklah sederhana, karena untuk memastikan layanan dan akses yang setara.
Pengadilan juga harus memastikan bahwa setiap warga negara dapat menikmati penerapan konsep dan asas tersebut terlepas dari kerentanan dan hambatan yang mereka miliki.
“Inilah yang menyebabkan pengadilan kemudian harus memberikan perhatian khusus kepada mereka yang termasuk dalam kelompok rentan tersebut, yaitu perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan warga miskin,” katanya.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan akses keadilan bagi seluruh elemen dan lapisan masyarakat, ia menyatakan Mahkamah Agung mengupayakan pembaruan setidaknya untuk 7 (tujuh) aspek.
Yaitu: Keterjangkauan, Penyederhanaan Prosedur, Penyediaan Bantuan Hukum, Penyediaan Layanan Bahasa dan Pendamping, Aksesibilitas Fisik, Ketepatan Waktu dan Efisiensi, serta Penggunaan Teknologi dan Akses Online.
Ketua Mahkamah Agung menyadari pembaruan yang diupayakan oleh Mahkamah Agung itu, bukan berarti tanpa hambatan dan kekurangan.
Tentu saja seluruh jajaran badan peradilan harus selalu mawas diri untuk menyempurnakan dan mewujudkan akses keadilan yang seutuhnya bagi para pencari keadilan.
Terutama, dalam menyikapi pemenuhan hak para pencari keadilan yang kewenangannya tidak sepenuhnya ada pada Mahkamah Agung.
Ia juga menambahkan, untuk penyediaan layanan bantuan hukum selama persidangan, penyediaan pendamping untuk perempuan, anak berhadapan dengan hukum.
Serta penyandang disabilitas mental, Mahkamah Agung masih bergantung pada ketersediaan anggaran pada instansi-instansi pemerintah. (rdr)