Ahok pun mulai menyerang Gibran. Dibilang nggak ngerti dan bilang coba-coba ngurus negara. Pertaruhannya besar, di masa depan. Begitulah, kira-kira. Meski kalimatnya nggak pas, karena ia bilang Presiden, bukan Wapres.
Oleh Erizal
Presiden dan Wapres itu beda sekali. Wapres itu simbol. Yang urgen adalah Presiden. KH. Ma’ruf Amin itu contoh. JK juga contoh, bukan yang bersama SBY, melainkan saat bersama Jokowi juga. Termasuk, Boediono, SBY kedua.
Betapa ahlinya Boediono, tapi nggak terpakai juga. Termasuk, betapa fakihnya KH Ma’ruf Amin, tetap saja sebagai simbol. Jokowi yang jadi penentu. Kalau JK saat bersama SBY, itu kesalahan. Justru negara bisa bahaya. Cekcok.
Pasti karena Ahok bukan tak mengerti soal ini. Tapi ia sudah tak sejalan dengan Jokowi, tidak hanya soal Gibran. Pilihannya, Ganjar-Mahfud sesuai pilihan Megawati, pilihan PDIP. Ia berani menyerang sebab itu. Pengkhianat juga? Tidak.
Yang disebut pengkhianat itu Jokowi, termasuk Prabowo. Jokowi saat tak sejalan dengan PDIP (Megawati). Prabowo saat bergabung dengan Jokowi. Momen kebersamaan ini yang menjadi sebabnya. Orang terlalu mudah melupakan ini.
Kalau orang melihat kebersamaan itu sebagai monumen, sehingga negara-bangsa ini keluar dari krisis, maka posisi Gibran sangat mudah juga dimengerti. Tapi, orang memang tak bisa lihat hal yang sama. Ahok pun, gagal soal ini.
Memang, Ahok ini siapa kalau tanpa Jokowi? Apa bisa dia menjadi Gubernur DKI, kalau tak bersama Jokowi?
Bahkan, setelah keluar dari penjara pun Jokowi tetap memakainya sebagai sesuatu. Mestinya, Ahok bisa menjaga lisan. Tapi itulah kelemahan Ahok yang tak berubah. (**)