MISTERI, RADARSUMBAR.COM – Danau Toba tidak selamanya berupa badan air yang luas, dalam, indah dengan Pulau Samosir yang muncul di tengah. Dahulu kala, dia adalah gunung purba super (supervolcano). Apa yang kita saksikan hari ini hanyalah kaldera, yang tersisa dari erupsi besar yang terjadi sekitar 75.000 tahun lalu.
Tak diketahui ukuran persis Gunung Super Toba. Yang jelas, lubang peninggalannya menjelma menjadi Danau Toba yang panjangnya 100 kilometer, lebar 30 kilometer, dan kedalaman mencapai 505 meter. Saking besarnya bahkan bisa dilihat dari angkasa luar.
Letusan Toba adalah peristiwa kolosal. Gunung itu memuntahkan sekitar 3.000 kilometer kubik batu dan abu vulkanik yang menyebar ke seluruh penjuru Bumi. Seperti dimuat situs NASA, aliran piroklastik atau awan yang merupakan campuran gas panas, serpihan batu, dan abu, mengubur wilayah sekitar 20.000 kilometer persegi di sekitar kaldera.
Di Pulau Samosir, tebal lapisan abu bahkan mencapai 600 meter. Abu Toba juga menyebar ke seluruh dunia. Di India misalnya, ketebalan abu diperkirakan sampai 6 meter. Abu dan gas vulkanik Gunung Toba yang menyembur dan meledak di atmosfer, menghalangi masuknya sinar matahari. Hanya sebagian, memang. Tapi efeknya mampu menurunkan suhu global hingga 3,5 derajat.
Memicu musim dingin vulkanik yang berlangsung 6 hingga 10 tahun. Dunia kacau balau. Tanaman mati, kelaparan merajalela. Tak hanya menyebabkan kematian dalam jumlah besar, erupsi Toba juga diyakini memicu penyumbatan pertumbuhan populasi manusia. Populasi penduduk Bumi pun anjlok, diperkirakan hanya 10 ribu hingga 30 ribu orang yang mampu bertahan hidup.
Awalnya, para ahli belum menemukan bukti nyata dari anggapan tersebut, yang dikaitkan dengan variabel iklim seperti suhu dan curah hujan. Belakangan, studi teranyar yang dipublikasikan di jurnal Communications Earth & Environment telah menemukan benang merah antara erupsi Gunung Toba dan faktor penghambat pertumbuhan populasi manusia itu.
“Toba telah lama dianggap sebagai pemicu bottleneck, kata penulis hasil riset sekaligus ahli kimia atmosfer, Sergey Osipov dari Max Planck Institute for Chemistry seperti dikutip dari Daily Mail, Selasa 22 Juni 2021.
Jadi, apa pemicunya? Tim peneliti menemukan, letusan Gunung Toba menipiskan lapisan ozon dalam jumlah luar biasa. Skalanya mencapai 20 hingga 50 persen dalam kurun waktu setahun setelah erupsi. Itu pemicu masalah.
Mirip Kondisi Setelah Perang Nuklir
Seperti dikutip dari situs natureworldnews.com, analisis emisi menunjukkan, erupsi Toba miskin sulfur atau belerang. Tapi sebaliknya, justru kaya halogen. Temuan itu memicu kontroversi. Ada yang berpendapat, karena itu emisi gas vulkanik Gunung Super Toba bersifat non-katastropik. Namun, kehadiran halogen dalam magma sebelum erupsi terjadi, juga jumlah belerang yang terkandung di dalamnya, memicu hal sebaliknya: malapetaka.
Tim peneliti dari Max Planck Institute for Chemistry, Jerman, menggarisbawahi, halogen vulkanik dalam emisi Toba memicu hilangnya ozon dalam jumlah besar. Padahal, fungsi ozon adalah menyerap paparan sinar ultraviolet (UV) dari Matahari ke permukaan Bumi. Penipisan ekstrem pada lapisan ozon memicu radiasi ultraviolet yang tak terkendali (ultraviolet stress).
Efeknya membahayakan kesehatan manusia dan secara negatif mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup. Kala itu, mereka yang hidup di wilayah tropis paling terdampak. “Efeknya bisa jadi serupa dengan kondisi setelah perang nuklir,” kata Osipov.
Meningkatnya radiasi berbahaya di permukaan Bumi, yang dipicu menipisnya lapisan ozon, telah diamati selama bertahun-tahun. Para ahli meyakini, radiasi UV ekstrem selama periode sekitar satu tahun bisa memicu konsekuensi serius terhadap lingkungan, ekologis. Juga berbahaya bagi kesehatan fisik dan sosial manusia.
Aerosol vulkanik yang disemburkan Toba memang menghalangi sinar matahari dan mendinginkan Bumi. Namun, efeknya juga memperlambat pembentukan ozon. Misalnya, hasil panen dan produk hasil laut anjlok drastis karena efek sterilisasi ultraviolet. Keluar rumah tanpa pelindung UV akan memicu kerusakan pada mata dan kulit terbakar dalam waktu kurang dari 15 menit.
“Seiring waktu, kanker kulit dan kerusakan DNA secara umum akan memicu penurunan populasi,” tambah Osipov.
Bukti dari Afrika
Bukti DNA dari Afrika tengah menunjukkan bahwa populasi manusia tiba-tiba menurun di sana sekitar 75 ribu tahun lalu. Untuk menghindari risiko bahaya, orang Afrika kala itu terpaksa meninggalkan wilayah mereka yang tak lagi layak huni. Mereka bergerak lebih jauh, ke utara dan selatan, di mana radiasinya tidak terlalu parah.
Namun, tak semua pergi. Hasil penelitian di Afrika Selatan yang diterbitkan di jurnal Nature pada Maret 2021 menyebut, manusia di sana tak hanya bertahan hidup di tengah bencana, mereka juga berkembang setelah melalui masa-masa sulit. Ekskavasi di dua titik di pantai di Afrika Selatan menemukan bukti aktivitas manusia sebelum dan sesudah Erupsi Toba.
Para ahli menemukan pecahan kecil kaca vulkanik di sedimen yang ada di kedua lokasi. Analisis kimia menemukan, temuan itu cocok dengan Gunung Toba, yang jauhnya 9.000 kilometer. Di tempat yang sama juga ditemukan bekas cangkang makanan dan serpihan alat dari batu.
“Setelah erupsi Toba, intensitas populasi meningkat di sana. Orang-orang berkumpul dalam kelompok yang lebih besar atau tinggal dalam waktu yang lebih lama,” kata Dr Marean, salah satu ilmuwan, seperti dikutip dari BBC. (*)
Komentar